Kamis, 02 Mei 2019

Yang berserakan dan yang tak ingin kau kenang


Aku ini rumah kecil

aku ini rumah kecil
gubuk suwung di bawah tebing
tak ada hari korban di diriku
upacara natal, waisak dan galungan
tak ada suara adzan dan lonceng bertalu
karena itu tak ada yang sudi singgah sekedar berbaring
menyalakan lilin
mengucap cinta dan doa-doa

sarang demit dan laba-laba raksasa, katamu
rahim lumut yang subur dari pecahan genting dan atap bocor
hujan selalu singgah
meski tak mensucikan
dan kemarau selalu menumpahkan debu
debu yang tak henti-henti kau takuti
dari segala najis dan kematian

petang ini sering terjadi gempa
sudikah kau melihatku untuk terakhir kali?
rumah kecil tak bertiang
sebelum tumbang sebelum tenggelam
sebelum kembali dari tanah ke tanah
atau sekedar berfoto dan melambaikan tangan
bersama karangan bunga yang kau bawa

tidak!
jangan kau lakukan jika terpaksa
jangan kau kenang karena dendam
taburi dulu dengan ludah dan serapah
setelah itu bilas dadamu
lalu relakan
relakan


Jogjakarta, Februari 2008





Di atas bumi hitam-putih

di atas bumi-hitam putih
kuda-kuda dalam tubuhku meringkik
melompat-lompat minta dilepaskan
berderap sampai ujung yang tak kuketahui
merampas segala kegelapan dan cahaya
sebagai sajadah atau mataangin
mungkin juga huruf-huruf di nisanku
jika berkenan mengenang
bukan nama dan waktuku terlahir

di atas bumi hitam-putih
para rahib kubunuh dengan ketidakpercayaan lebih besar
dari kebesaran jubah mereka
seperti orang-orang membunuh tuhan mereka
lalu mencarinya di pasar-pasar
tapi di jiwaku tuhan selamat
yang mati yang mengaku dirinya kekasih
yang diam-diam meninggalkanku
dan berlari menuju kemabukan surga
dalam kuil-kuil kesunyian

di atas bumi hitam-putih
kupilih menghanguskan diri
menabrak barisan benteng paling rapi
melahap murka dan celaka
meneguk kemenangan demi kemenangan
-wajah kesedihan yang lain-
agar subur tuhan di tubuh kecil ini
meski pada akhirnya aku kalah
dan berserah pada  tuhan yang tak pernah kalah


Yogyakarta, 2008



Samsara

engkaukah yang bertamu sepanjang malam?
sepanjang kegelapan meniduriku
sepanjang esok yang mulai tak kupercayai
bersama kotaku yang warnawarni


samsara
wajah-wajah yang kukenal
jiwa-jiwa yang kukawini
lahir dari mata, lidah, tangan dan seluruh anggota badanku yang cacat
benar-benar cacat
kau kembali

bagaimana aku harus sembunyi
sedang kau menjelma apapun di dunia ini
kecuali tuhan dan kekasihnya
karena kau tak berdaya
lalu kau tersenyum padaku
sambil berayunan di taman kebodohan
tak habis-habisnya
meski sebenarnya aku pun lelah
dan sama tak berdaya


Yogyakarta, Februari 2008




Yang kubawa mati

jika kau temukan aku dalam gelap
mandikan
mandikan lalu hangatkan dengan segala yang kau punya
demi tuhan di jiwamu
sebagai sedekah yang pahalanya melimpah

tak ada yang harus kupilih
selain tetap bertahan di kedalaman murka dan restu
oh insan celaka
memikul batu-batu

jika kau temukan aku dalam cahaya
tamparlah
tamparlah dengan menyebut Tuhanmu yang pengampun
siapa tahu aku lalai dengan kebaikan-kebaikan
dan cinta yang kau amini

kuangkat kedua tangan sedada
berharap kau tak lupa
dan turut menjaga layaknya anak-anak gembala
puisi
amal karib yang kubawa mati

 
Yogyakarta, Februari 2008



Ketika hujan turun


bumi basah
hijau-kuning daunan seperti para pemberi sedekah
semesta doa dan restu
menciumi sekujur tubuhku

boneka gadis duduk manis
di samping gubuk pemulung
matanya menjala hujan
anak alam yang sembunyi-sembunyi ditakuti

lakuku sunyi
seperti hujan turun
tanpa siulan dan salam

orang-orang menahan diri di rumah
di emperan gedung
di mantel biru laut dan mobil-mobil pribadi
sesekali menadahkan tangan seperti peminta-minta yang bibirnya gemetar
di tiang-tiang lampu merah

sungai kecil menggambar wajahku
selalu tak sempurna
mengembarakan kenangan dusun-dusun kecil
di mana hujan begitu hebat
batu-batu yang digulingkan
sungai dan hutan-hutan dipecahkan
ruh yang pergi menggasing resah mencari rumah kembali

ketika hujan turun
segalanya kuasa diguyur
ditenggelamkan
hanya saja benda-benda rupawan
lubang kita berteduh
kian menebalkan fantasi dan kesombongan
hingga sebegitu iman
sebutir debu sanggup memayungi diri



Yogyakarta, Maret 2008





Rindu terpasung

cinta terdampar di ubun-ubun
rindu merangkak bagaikan siput
daun-daun menguning diguyur airmata
jiwaku makam abadi
tenggelam bersama ranting patah
usai kau susui luka tak berpantai

jika kini kau guntur belailah
malam dengan lembut
agar dinginnya dapat menjadi obat bagi kematian
yang panjang
agar dinginnya dapat menjadi obat sebab perang
yang tak kunjung padam

tidakkah kita ingin melihat kunang-kunang angkasa
dengan selendang mereka yang cantik
bukan peluru warna-warni atau bunga api
yang telah membungkam bocah-bocah kecil
saat mereka bermain loncatan sambil menguping ledakan
yang mereka bilang merdu


Jogjakarta, 2006



Berlari

berlarilah wahai banteng dalam jiwaku
berlarilah secepat angin dan kedipan mata
berlarilah dan temui Tuhanmu
sampaikan salam dengan syair terindah
: kami umat Muhammad yang kau agungkan
  yang memecahkan batu-batu dengan air
  yang menyuburkan padang sahara dengan salam dan keluhuran
  yang kesabarannya telaga dan cintanya pada kami
  matahari
  restuilah darah dan hati kami
 
lalu menukiklah ke bumi
berlarilah sekuat Muhammad dan rasul-rasul tercinta
padamkan  api di hutan-hutan
sejukkan barisan desa dan kota
segarkan kematian yang mengeram di jiwa
lalu dengan semesta doa dan ridlo sang agung
berlarilah menuju kemenangan dan bahagia
 
Yogyakarta, 2008




Di gigir tebing

awalnya hanya dua orang yang datang
menungguku di suatu pagi
adakah ku pernah berjanji?
“perjalanan harus segera diteruskan.
atau kita memilih terjun ke sungai berbatu?”,  begitu mereka mengingatnya
sungguh aku tidak melupakan hal itu
aku telah memahatnya di dinding-dinding lembab jiwaku,
di tiap lapis kesunyian dan doa
: kuil istirah bagi yang sebatang kara
bahwa yang mati harus segera disegarkan
yang hidup harus kembali digerakkan
dan yang cacat, cinta dan kesuciannya harus tetap dijaga
dimulai dari sebuah pagi
di gigir tebing yang akarnya sungai hitam
: tempat mata dan telinga hendak disemayam

dari atas tubuhku kian kecil dan tersenyum
adakah seseorang hendak mengejar kita?

 
Yogyakarta, 26 Oktober 2008
 
 
Doa penyair

bila saja kau izinkan, Tuanku
ingin kurobek-robek awan kelam yang menyimpan
halilintar
agar teduh saja hujannya

bila saja kau izinkan, Tuanku
ingin kupecah purnama
untuk kubagi-bagi di gulita jiwa

dan bila saja kau izinkan , Tuanku
ingin kurontokkan daunan kamboja yang merah-putihnya
rekah sepanjang tanah makam
lalu kualirkan ke sungai hitam di badan
betapa pilu musim gugur ini yang tak sekalipun
dirasakan

bila saja kau izinkan, Tuanku
dengan puisi dan ketenangan hati

 
Jogja, 28 Mei 2009


Sowan
/Qodri

di kamarmu asap rokok  dan botol minuman
tumpah diringi lagu cinta lama
tubuh-tubuh terbujur lunglai
usai menaiki bukit nasib
sebagian yang lain sedang kurindukan
sebab  pergi tak bilang-bilang
di luar kau menghibur diri
di depan televisi dan gambar-gambar kartun

di kamarmu tak ada yang kuajak bicara selain hati dan puisi
: kenapa gendang hidup yang kutabuh tiap petang sumbang
puisi yang kukandung berbulan-bulan lahir sebagai setan
mungkin aku setan yang menziarahi batu nisan
dan terpendam usai menyusuri tanda dan peta
mungkin pula aku tubuh yang menggeliat-geliat sedang jiwanya musnah
atau ada goresan lain dari tinta Tuhan yang belum kubaca

dari kamarmu aku ingin sowan ke hadirat Tuhan saja!


Jogja, Juni 2009