Kamis, 22 November 2012

Cerpen : memahat nasib



Memahat Nasib
Oleh: Hais Abdurrahman

Nur tidak bisa tidur malam itu. Lewat pukul sembilan, ia masih duduk di ruang tamu. Wajahnya semakin pucat. Berkali-kali matanya menatap kosong ruangan yang sudah ia padamkan. Bibirnya gemetaran, seperti menahan kesedihan yang seakan sudah tak kuasa lagi ia tahan. Sebentar ia menoleh ke tubuh udin, anaknya yang sudah terlelap duluan setelah seharian bermain ke rumah teman-temannya. Mata yang sudah mengembun itu kembali tak mengisyaratkan apa-apa, kecuali mencari jawaban akan apa yang terjadi esok hari.
            Semenjak ditinggal suaminya yang bekerja sebagai mandor kontruksi baja itu ke luar kota, Nur memang sering sendirian di rumah. Paling-paling Udin yang menemaninya nonton tv, itu pun sudah sangat sore. Meski begitu, Nur masih bisa tenang karena suaminya akan pulang seminggu dua kali; bercerita tentang gajinya yang belum cair atau sekedar memarahinya karena mulutnya yang cerewet. Sungguh, betapa membutuhkannya Nur malam itu, sosok lelaki dengan bau keringat yang khas dan rambut yang jarang keramas. Lebih dari sekedar rindu!. 
Sudah sebulan lebih lelaki yang menikahinya tiga belas tahun silam itu belum kunjung pulang. Tak ada kabar dan berita. Malam-malam seakan hendak menggiringnya pada jurang-jurang ketakutan.  Ia benar-benar takut dengan lelaki berjas cokelat yang sudah seminggu ini datang menemuinya. Seperti yang sudah-sudah, lelaki itu tentu akan menanyakan keberadaan suaminya. Tidak hanya itu, lelaki yang berambut sebahu itu juga akan menagih hutangpiutang suaminya yang belum dibayar hingga batas waktu perjanjian. Totalnya mencapai tujuh juta.
Nur tidak menyangka suaminya berhutang sebanyak itu tanpa sepengetahuan dirinya. Memang, bulan-bulan kemarin suaminya itu sering mengeluh tentang pekerjaannya. Bukan karena ia tidak bisa mengerjakan proyek gudang kertas di kota wali tersebut, melainkan karena ulah atasannya yang tidak pernah memberikan gaji dan ganti rugi sesuai yang diopnam. Dan suaminya itu hanya diam meski sebenarnya ia sangat kesal. Ia takut diistirahatkan lagi dari kerja jika bertindak agak keras kepala. Tentu suaminya itu akan mengalami masa paceklik seperti yang pernah dialaminya tahun kemarin. Jika sudah demikian, suaminya akan melampiaskan kemarahannya pada Nur. Seperti yang sudah-sudah, Nur hanya bisa menangis di kamar usai ditampar.
Kini suaminya menghilang. Nur harus menghadapi penagih hutang itu. Entah apa lagi yang mesti ia katakan setelah berhari-hari ia harus bilang bahwa suaminya masih berada di luar kota. Alasan apalagi yang harus ia jelaskan ketika ia benar-benar tidak mempunyai uang sebanyak itu. Bahkan untuk memperpanjang masa kontrakan rumahnya yang sudah habis seminggu yang lalu.
Lelaki yang mengaku  makelar motor  itu tentunya tidak akan mau tahu urusan Nur dengan tuan rumah yang hampir tiap bangun tidur memaksanya untuk cepat-cepat angkat kaki dari rumah yang telah dikontraknya selama dua tahun itu. Ia pun tentunya akan memarahinya lagi. Dan seperti ancamannya, ia akan datang dengan beberapa polisi yang siap membawanya ke meja sidang, lalu menjebloskannya ke penjara; suatu hal yang sama sekali tidak pernah menjadi impian Nur.
Tok…tok…tok…
 Nur langsung kaget mendengar pintu diketuk. Perasaannya sangat cemas. Tidak mungkin suaminya melakukan hal seperti itu. Biasanya ia akan langsung masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Itu pasti orang lain, pikirnya.
Jantung Nur semakin berdegub kencang. Pikirannya langsung tertuju pada penagih hutang yang selalu datang menerornya.  Raut muka yang tajam, dan siap menariknya keluar bersama polisi yang datang dengan mobil patroli. Atau lelaki itu berencana lain. Ia mungkin  sengaja datang malam hari agar tidak ada seorang pun yang memergokinya ketika ia dengan leluasa menusukkan belati ke perutnya. Hutang harta dibayar nyawa.
Tok…tok…tok…
Nur semakin panik. Berkali-kali ia mondarmandir masuk kamar. Mencari tempat aman untuk bersembunyi. Tapi pasti akan ketahuan juga. Tak ada lagi tempat aman di rumahnya. Kolong-kolong telah menganga, dijualnya buat tambahan beli beras. Kamar mandi sudah dikunci tuan rumahnya sejak pagi. Hanya lemari dapurnya yang dapat dibuka. Tapi tetap sia-sia. Lemari kecil itu tidak cukup muat dengan tubuhnya.
Nur kembali ke ruang tamu, berencana membangunkan Udin. Namun hati kecil perempuan itu tidak tega menanggungkan masalahnya kepada anak yang masih sekolah tingkat menengah itu. Ia yakin Udin masih belum siap untuk menyelesaikan masalah orang tuanya. Bisa jadi Udin akan ditampar lelaki itu karena dituduh menyembunyikan dirinya. Duh, Gusti biarlah saya saja yang menanggungnya. Nur terisak di pojok ruangan.
“Mbak?”
 Tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggilnya. Ia sangat mengenal suara itu. Namun Nur masih belum percaya dengan apa yang didengarnya.
“Mbak Nur?”
Suara itu terdengar akrab di telinganya. Setelah beberapakali suara itu memanggilnya, Nur akhirnya benar-benar yakin bahwa seseorang yang berada di luar pintu adalah Mbak Ningsih, tetangga sebelah yang juga teman di pengajian ibu-ibu.
“Ya, sebentar”.
Nur menarik nafas dalam-dalam. Diusapnya airmata yang sedari tadi membasahi pipinya. Perasaannya kini benar-benar lega. Mbak Ningsih memberikan bungkusan plastik warna merah yang berisi nasi dan buah-buahan.
“Ini, berkat dari pengajian”. Nur menerimanya dengan senyum yang basah.  Matanya masih berkaca-kaca.
”Kok tadi tidak datang?”
“Maaf Mbak, saya lagi tidak enak badan”.
“Pak Eko sudah pulang?”
Nur terdiam. Menundukkan kepala. Ia tak tahu harus mengatakan apa tentang suaminya itu. Mbak Ningsih tahu bagaimana perasaan Nur. Ia pun segera beralih pembicaraan tentang suasana di pengajian. Tak beberapa lama, ia pun pamit pulang.
Belum sempat perempuan sebaya itu berdiri dari tempat duduknya, Nur segera memegang tangannya. Ia tak ingin teman dekatnya itu cepat-cepat meninggalkan dirinya. Ia bingung harus memulai dari mana untuk meyakinkan perempuan kota metropolitan itu bahwa ia benar-benar butuh bantuan.
“Mbak, maukah sampeyan membeli meja belajar anak saya?”
Mbak Ningsih langsung trenyuh. Betapa kasihan melihat Nur yang dikenalnya sebagai salah seorang anggota pengajian paling aktif itu harus mengalami masa-masa pahit. Ia pun mengurungkan niatnya untuk pulang.
“Rencananya dijual berapa Mbak?”
“Terserah Mbak Ningsih  sajalah mau ambil berapa. Yang penting saya masih punya pegangan untuk besok. Toh meja belajar anak saya juga sudah lapuk.
Tak tahan melihat kesedihan Nur, Mbak Ningsih segera mengasihkan uang lima puluh ribu kepadanya. Digenggamnya tangan Nur erat-erat. “Hidup memang susah, Mbak, tapi Tuhan punya rencana”, katanya dengan halus.
*****
Pagi hari. Perempuan-perempuan dengan segar bergegas ke pasar. Belanja menu istimewah buat sang suami. Tapi tidak bagi Nur. Perempuan itu tidak lagi semangat untuk belanja apalagi berolahraga. Ia memilih untuk tetap di ruang tamu. Memandang dedaunan lewat tirai jendela. Membayangkan suaminya segera pulang.
“Bu, Meja belajarnya jadi diantar sekarang?”  Udin mengagetkan lamunannya. Anak semata wayang itu tak berkomentar apa-apa setelah diberitahu kalau meja belajar itu bukan lagi miliknya.
“Usahakan diam-diam. Jangan sampai ketahuan tuan rumah. Setelah ini kita akan pergi ke rumah Lek Ji sampai beberapa hari”.
*****
Di rumah saudaranya itu, Nur ternyata tidak menemukan kedamaian seperti yang ia harapkan. Pikirannya bertambah tidak tenang. Hampir setiap saat ia terlihat murung dan berbicara sendiri. Keempat anak Lek Ji yang diasuhnya itu pun belum bisa membantu mengalihkan perhatiannya pada masalah yang ia hadapi. Bahkan, Nur sering dihantui mimpi-mimpi buruk. Hari-hari di rumah Lek Ji seakan menjadi pasungan bagi dirinya sendiri. Seperti perempuan yang menunggu mati.
Akhirnya Nur memutuskan untuk kembali ke kontrakannya di Surabaya. Dijualnya sisa harta miliknya. Mulai dari sepeda ontelnya yang jarang dipakai, pakaian suami, lemari dapur sampai perabotannya yang rencananya buat hajatan pernikahan Udin jika kelak sudah waktunya. Tak ada yang tersisa kecuali beberapa pakaian miliknya. Hasilnya pun lumayan meski baru seperempat dari total hutang suaminya. Setidaknya, ia dapat meyakinkan penagih hutang itu bahwa ia akan melunasinya. Tanpa harus lari dan sembunyi.
Sedang urusannya dengan pemilik rumah, Nur sudah meminta maaf dan menjelaskan semua persoalan dirinya. Nenek tua itu pun memberikan perpanjangan sampai bulan depan. Betapa leganya perasaan Nur saat itu. Tinggallah suaminya yang ia rindukan. Ya, lelaki itu, semoga ia baik-baik saja. Entah bagaimana harus diceritakan.


Jogjakarta, Februari 2008






Cerpen : Selokan



Selokan
Oleh: Hais Abdurrohman
Aku tidak berbicara pada siapa pun malam itu. Aku yakin semua yang diam di atas tanah yang kupijak tidak semuanya mati, buta atau tuli. Semuanya menyimakku, dan mengerti akan apa yang kulakukan. Karena itu aku tidak mengatakan bahwa aku  sendirian, tdak juga bersama seorang kawan. Sebab memang tak ada siapa-siapa lagi. Sebelumnya memang ada beberapa pemuda yang ramai menenggak alkohol di antara semak-semak. Suara gitar mereka cukup merdu untuk kudengarkan. Sepasang pecinta yang lumayan romantis juga sedang menghangatkan badan. Sayang rambut gadis itu teramat panjang. Andai bibir mereka dapat kulihat. Sungguh, malam di pinggir selokan benar-benar seksi. Di sinilah tempat nongkrong paling murah dan murahan di pelosok kota. Lalu mesin motor menyalak-nyalak, suara-suara mengabur, aku tidak menemukan orang lain.
            Semoga bahagia! Barangkali itu yang dapat aku doakan untuk mereka. Bagaimana pun macamnya dan apa pun jalannya, aku yakin mereka hanya menginginkan satu hal dalam hidup ini, kebahagiaan!. Sampai saat ini, aku sangat yakin bahwa kebahagiaan ada di mana-mana. Kebahagiaan ada di kamar tidur, kamar mandi, dapur, meja makan, jalanan, stasiun, terminal, bus kota bahkan di lubang tikus. Lebih-lebih kebahagiaan aku temukan di selokan. Karena itu, aku selalu ingin berada di dekatnya. Menikmati kebahagiaan yang menyelinap di selah-selah air, menggantung di langit yang bulannya separuh, lalu meloncat-loncat layaknya bocah kecil, kemudian berterbangan menjelma angin yang dingin. Kebahagiaan duduk manis di hatiku.
            Dua bola lampu menyala terang. Mesin mobil terdengar mendekat. Tak lama berhenti di depanku. Petugas patroli. Aku tak beranjak ketika mereka serius mengamatiku.
            “Sedang apa kamu di situ?”
            “Melihat air, Pak”.
            “Memancing?”.
            “Melihat air!”.
            “Bersama perempuan?”.
            “Bersama bulan! Jika Bapak mau bersabar, kita juga akan melihat bintang jatuh. Tadi sudah. Barangkali ada lagi yang hendak menyusul. Warnanya cantik. Tapi jangan percaya orang-orang. Bintang bukanlah apa-apa. Hanya karya seni. Silahkan duduk bersama saya!”.
            “Kamu lagi mabuk?”.
            “Saya pemabuk, tapi tidak untuk malam ini”. Kutawarkan pada mereka teh manis dalam bungkus plastik.
            “Sebaiknya kamu pergi saja!”.
            “Kenapa? Saya merasa lebih nyaman di sini. Jauh dari hotel yang pasti akan diledakkan lagi, tak ada demonstrasi, jauh dari rumah-rumah penduduk, sehingga saya terbebas dari peluru nyasar jika ada bentrokan antara warga dan aparat keamanan. Kenapa?”
            Selanjutnya aku tidak melihat kedua petugas itu lagi. Hanya mobilnya yang perlahan menjauh bersama lampu kerlap-kerlip di atasnya. Mungkin mereka kecewa denganku. Tapi biarlah. Bukankah hal itu sudah menjadi resiko dari pekerjaan mereka?. Oh ya, aku pernah melihat mata mereka berkaca-kaca usai menembaki kampung pemberontak empat tahun silam. Mereka bilang enggan untuk kembali lagi. Istri mereka yang setia dan anak-anak yang masih kecil, ah terlalu pagi kiranya kalau menjadi janda dan yatim.  Tapi apa yang dapat mereka perbuat jika mereka dikirim kembali ke medan perang? Orang-orang berseragam senjata itu pun akhirnya hanya bisa menaruh tangan di dahi. Tak akan lama pasti terdengar tangisan yang serempak. Oh, andai saja para ilmuwan tidak menghabiskan waktu mereka di gudang-gudang senjata. Sehingga mereka lupa cara menciptakannya. Atau seluruh manusia di dunia ini lupa cara menggunakan barang mahal itu. Ya, andai saja.
            Petugas itu datang lagi. Kali ini mereka langsung mendekatiku. Menanyakan KTP. Aku bilang tidak punya, mereka malah bertanya yang macam-macam: alamat rumah, nomer telepon, pekerjaan, kampus...              
Ah, masa bodoh! Kepalaku pusing mendengarnya. Kupalingkan wajahku. Kutatap air selokan yang warnanya kecoklatan. Masih dapat kulihat bayanganku mengombak.
            “Silahkan ikut kami ke kantor!”
            “Aku tidak mau. Aku ingin di sini. Memangnya…”
            Brengsek! Tiba-tiba mereka menarik tubuhku. Aku digelandang masuk ke dalam mobil. Kucoba meronta sekuat tenaga. Bergulungan ke tanah. Berpegangan pada kesemak dan batu-batu. Tapi semuanya sia-sia. Tenaga mereka sangat kuat untuk tubuhku yang kurus dan pendek. Tak berguna mulutku berteriak. Sekali lagi tak ada siapa-siapa. Meski semua orang mendengarku, apa yang dapat mereka lakukan? Paling-paling aku dianggap maling, bandar narkoba atau teroris yang tertangkap petugas keamanan. Siapa yang berani? Tak ada seorang pun yang mengejar mobil patroli itu sampai ke markasnya.
            Apa sebenarnya salahku dan siapa yang dirugikan aku tak habis pikir. Memangnya siapa yang melarang seseorang duduk-duduk di pinggir selokan? Undang-undang macam apa yang mengharuskan seseorang yang berkunjung ke selokan wajib membawa KTP?
            “Diam!” Meja digebrak. Beberapa orang mengerubungku. Tak ada yang bicara. Aku melihat taring ular.
            “Siapa namamu?”. Aku diam
            “Kamu punya nama?”. Petugas itu membentak. Aku malah tak mau bicara.
            “Kamu manusia?”. Aku tertawa. Kakiku ditendang. Semua mendesis.
            “Apa yang kamu lakukan malam-malam di selokan? Aku tetap membisu.
            “Transaksi narkoba? Habis membunuh? Memperkosa? Makar? Terorisme?”
            “Semua salah!”, jawabku sambil tertawa lagi. Meja pun digebrak lagi. Beberapa kepalan tangan kurasakan sangat keras di pipi juga perutku. Sangat sakit. Kutundukkan kepala. Airmataku jatuh. Aku tidak meminta maaf.
            Seorang petugas menjebloskanku ke dalam sel malam itu juga. Memandangiku agak lama di samping pintu yang masih terbuka. Memberikanku sebatang rokok. Ia bercerita tentang orang-orang yang keluar-masuk penjara. Tentang kejahatan dan hukuman bagi yang melanggar hukum. Aku masih terdiam di lantai, bersandar pada tembok yang penuh coretan. Ia juga bercerita tentang dirinya dan keluarganya. Semua ini demi tugas, katanya lagi. “Selamat malam!” Pintu ia kunci rapat. Suara sepatunya perlahan menghilang.
            Hanya aku yang berada di dalam sel. Tak ada air, tumbuh-tumbuhan apalagi bintang jatuh. Tak banyak yang kulakukan kecuali membaca satu demi satu coretan yang bersilang-sengkarut di tembok: Tuhan, kuatkan jiwaku. Selamat tinggal kedamaian. Aku ingin pulang. Mama papa aku kangen. Hidup memang brengsek! Ayo mati bareng-bareng. Aku mau bunuh diri tapi jangan bilang siapa-siapa. Dan masih banyak lagi coretan lain yang bahkan sudah tidak dapat kubaca karena debu dan kotoran yang menempel. Tak ada nama mereka. Hanya coretan.
            Aku mencari sesuatu. Tak ada pena atau pun cat. Kuputuskan untuk menusukkan jariku pada paku. Keluar darah. Aku ingin seperti mereka. Akan kutulis pada tempat pembaringan besar-besar: KEMBALIKAN AKU KE SELOKAN!. Belum sempat aku corat-coret, seorang petugas membuka pintu. Ah, orang itu lagi. Kukira ia akan menemaniku tidur, ternyata membawaku ke ruang semula. Jumlah mereka berkurang sedikit. Tapi aku masih trauma dengan perlakuan mereka.
            “Punya keluarga?”. Aku mengangguk.
            “Nomer telepon rumah?”. Kugelengkan kepala.
            “Alamat rumah, hafal?”. Aku mengangguk lagi. Sekretaris itu menyodorkan kertas kosong dan pena. Kutulis alamat rumahku dengan gemetar. Kemudian aku dibawa kembali ke dalam sel. Kurasakan udara begitu dingin. Aku sangat mengantuk. Kurebahkan tubuhku di pembaringan, dan aku lupa menulis sesuatu. Selanjutnya aku tidak ingat lagi.
            Aku baru tersadar ketika kurasakan air tiba-tiba tumpah di mukaku. Bukan tumpah, tapi sengaja ditumpahkan. Siapa lagi kalau bukan si penjaga sel. “Anjing! Beraninya berbohong!”. Aku tak mengerti apa yang ia katakan. Ia terus mengumpatku. Menyeretku di hadapan teman-temannya. Aku seperti celeng hutan yang tercebur lumpur. Tak dapat berbuat banyak. Mata mereka bengis. Entah kenapa tiba-tiba mereka begitu sangat jahat kepadaku. Mereka bilang aku menyembunyikan sesuatu, alamat rumah yang kuberikan salah, di dalam tak ada orang sama sekali. Semuanya omong kosong, kata mereka. Aku bersumpah, mereka malah menampar. Aku semakin menundukkan kepala. Seperti yang pernah kubilang, tubuhku semakin sakit. Tak ada gunanya aku menangis. Aku dimasukkan ke dalam mobil. Mereka sempat mengusirku.
            Mobil melaju ke arah rumahku. Aku ingat betul. Jalan yang kami lalui benar, seperti yang kutulis di kertas semalam. Jalanan di sini penuh alang-alang. Barangkali tak akan kamu dapati rumah atau pun perkampungan. Banyak hewan buasnya kalau malam. Jarang ada orang kemari, selain berburu kutilang dan sejenisnya. Tak ada lampu-lampu. Biasanya aku memakai oncor untuk penerangan, sambil bakar-bakar di samping rumah. Gudang kumuh, sarang penyamun, kata mereka.
            Benar di situ rumahku. Sangat besar dan tua. Jaring laba-labanya juga besar-besar. Kami berdua masuk. Seorang lagi menunggu di luar.
            “Benar kamu tinggal di sini?”. Aku mengangguk.
            “Sekarang di mana keluargamu?”. Aku tak menjawab.
            “Panggil mereka!”. Petugas itu mendorong pundakku. Kutundukkan kepala.
            “Cepat!”. Petugas itu berteriak. Aku semakin takut. Jariku menunjukkan sesuatu yang bersembunyi di balik keremangan.
“Besi-besi tua! Dari mana kamu mendapatkannya?” Aku terdiam. Kucoba untuk menyingkirkan ingatan masa lalu dari pikiranku. Namun bayang-bayang hitam yang telah sekian tahun lamanya kupendam itu seolah hadir dengan sendirinya. Menjabat tanganku seperti dua saudara kembar yang lama berpisah. Dan memintaku  untuk  bermain seperti dulu. Kupejamkan mata rapat-rapat, airmataku tak kuasa kutahan. 
            “Merekalah keluargaku”.
            “Sialan! Bermain teka-teki lagi. Kamu pasti komplotan pencuri”.
            Sudah kukatakan yang sebenarnya, tapi tetap tidak ada yang mau percaya. Apa orang seperti aku ini selalu dianggap salah dan salah selamanya? Sungguh, aku memang terlahir dari tumpukan besi dan rongsokan. Tapi tak ada juga yang mau percaya.
            Petugas itu kembali menangkapku. Mengunciku di sebuah ruangan khusus. Sejak saat itu, aku lebih sering corat-coret tembok. Masih seperti dulu, tempat seperti ini selalu sunyi. Tak kutemukan selokan dan bintang jatuh. Lalu kuambil batu di sudut ruangan, kulemparkan pada jeruji besi yang memagar di depanku dengan sangat keras; tangngngngng! Aku merasa bahagia!.


Jogjakarta, Desember 2007-Februari 2008