Memahat Nasib
Oleh: Hais Abdurrahman
Nur tidak bisa tidur malam itu. Lewat pukul
sembilan, ia masih duduk di ruang tamu. Wajahnya semakin pucat. Berkali-kali
matanya menatap kosong ruangan yang sudah ia padamkan. Bibirnya gemetaran,
seperti menahan kesedihan yang seakan sudah tak kuasa lagi ia tahan. Sebentar
ia menoleh ke tubuh udin, anaknya yang sudah terlelap duluan setelah seharian
bermain ke rumah teman-temannya. Mata yang sudah mengembun itu kembali tak
mengisyaratkan apa-apa, kecuali mencari jawaban akan apa yang terjadi esok
hari.
Semenjak ditinggal suaminya yang
bekerja sebagai mandor kontruksi baja itu ke luar kota, Nur memang sering sendirian di rumah.
Paling-paling Udin yang menemaninya nonton tv, itu pun sudah sangat sore. Meski
begitu, Nur masih bisa tenang karena suaminya akan pulang seminggu dua kali;
bercerita tentang gajinya yang belum cair atau sekedar memarahinya karena
mulutnya yang cerewet. Sungguh, betapa membutuhkannya Nur malam itu, sosok
lelaki dengan bau keringat yang khas dan rambut yang jarang keramas. Lebih dari
sekedar rindu!.
Sudah sebulan lebih lelaki yang menikahinya tiga belas tahun silam itu
belum kunjung pulang. Tak ada kabar dan berita. Malam-malam seakan hendak
menggiringnya pada jurang-jurang ketakutan.
Ia benar-benar takut dengan lelaki berjas cokelat yang sudah seminggu
ini datang menemuinya. Seperti yang sudah-sudah, lelaki itu tentu akan
menanyakan keberadaan suaminya. Tidak hanya itu, lelaki yang berambut sebahu
itu juga akan menagih hutangpiutang suaminya yang belum dibayar hingga batas
waktu perjanjian. Totalnya mencapai tujuh juta.
Nur tidak menyangka suaminya berhutang sebanyak itu tanpa sepengetahuan
dirinya. Memang, bulan-bulan kemarin suaminya itu sering mengeluh tentang pekerjaannya.
Bukan karena ia tidak bisa mengerjakan proyek gudang kertas di kota wali tersebut,
melainkan karena ulah atasannya yang tidak pernah memberikan gaji dan ganti
rugi sesuai yang diopnam. Dan suaminya itu hanya diam meski sebenarnya ia sangat
kesal. Ia takut diistirahatkan lagi dari kerja jika bertindak agak keras
kepala. Tentu suaminya itu akan mengalami masa paceklik seperti yang pernah
dialaminya tahun kemarin. Jika sudah demikian, suaminya akan melampiaskan
kemarahannya pada Nur. Seperti yang sudah-sudah, Nur hanya bisa menangis di
kamar usai ditampar.
Kini suaminya menghilang. Nur harus menghadapi penagih hutang itu. Entah
apa lagi yang mesti ia katakan setelah berhari-hari ia harus bilang bahwa
suaminya masih berada di luar kota.
Alasan apalagi yang harus ia jelaskan ketika ia benar-benar tidak mempunyai
uang sebanyak itu. Bahkan untuk memperpanjang masa kontrakan rumahnya yang
sudah habis seminggu yang lalu.
Lelaki yang mengaku makelar
motor itu tentunya tidak akan mau tahu
urusan Nur dengan tuan rumah yang hampir tiap bangun tidur memaksanya untuk
cepat-cepat angkat kaki dari rumah yang telah dikontraknya selama dua tahun
itu. Ia pun tentunya akan memarahinya lagi. Dan seperti ancamannya, ia akan
datang dengan beberapa polisi yang siap membawanya ke meja sidang, lalu
menjebloskannya ke penjara; suatu hal yang sama sekali tidak pernah menjadi
impian Nur.
Tok…tok…tok…
Nur langsung kaget mendengar pintu
diketuk. Perasaannya sangat cemas. Tidak mungkin suaminya melakukan hal seperti
itu. Biasanya ia akan langsung masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu terlebih
dahulu. Itu pasti orang lain, pikirnya.
Jantung Nur semakin berdegub kencang. Pikirannya langsung tertuju pada
penagih hutang yang selalu datang menerornya.
Raut muka yang tajam, dan siap menariknya keluar bersama polisi yang
datang dengan mobil patroli. Atau lelaki itu berencana lain. Ia mungkin sengaja datang malam hari agar tidak ada
seorang pun yang memergokinya ketika ia dengan leluasa menusukkan belati ke
perutnya. Hutang harta dibayar nyawa.
Tok…tok…tok…
Nur semakin panik. Berkali-kali ia mondarmandir masuk kamar. Mencari
tempat aman untuk bersembunyi. Tapi pasti akan ketahuan juga. Tak ada lagi
tempat aman di rumahnya. Kolong-kolong telah menganga, dijualnya buat tambahan
beli beras. Kamar mandi sudah dikunci tuan rumahnya sejak pagi. Hanya lemari
dapurnya yang dapat dibuka. Tapi tetap sia-sia. Lemari kecil itu tidak cukup
muat dengan tubuhnya.
Nur kembali ke ruang tamu, berencana membangunkan Udin. Namun hati kecil
perempuan itu tidak tega menanggungkan masalahnya kepada anak yang masih
sekolah tingkat menengah itu. Ia yakin Udin masih belum siap untuk
menyelesaikan masalah orang tuanya. Bisa jadi Udin akan ditampar lelaki itu
karena dituduh menyembunyikan dirinya. Duh, Gusti biarlah saya saja yang
menanggungnya. Nur terisak di pojok ruangan.
“Mbak?”
Tiba-tiba terdengar suara
seseorang memanggilnya. Ia sangat mengenal suara itu. Namun Nur masih belum
percaya dengan apa yang didengarnya.
“Mbak Nur?”
Suara itu terdengar akrab di telinganya. Setelah beberapakali suara itu
memanggilnya, Nur akhirnya benar-benar yakin bahwa seseorang yang berada di
luar pintu adalah Mbak Ningsih, tetangga sebelah yang juga teman di pengajian
ibu-ibu.
“Ya, sebentar”.
Nur menarik nafas dalam-dalam. Diusapnya airmata yang sedari tadi
membasahi pipinya. Perasaannya kini benar-benar lega. Mbak Ningsih memberikan
bungkusan plastik warna merah yang berisi nasi dan buah-buahan.
“Ini, berkat dari pengajian”. Nur menerimanya dengan senyum yang
basah. Matanya masih berkaca-kaca.
”Kok tadi tidak datang?”
“Maaf Mbak, saya lagi tidak enak badan”.
“Pak Eko sudah pulang?”
Nur terdiam. Menundukkan kepala. Ia tak tahu harus mengatakan apa tentang
suaminya itu. Mbak Ningsih tahu bagaimana perasaan Nur. Ia pun segera beralih
pembicaraan tentang suasana di pengajian. Tak beberapa lama, ia pun pamit
pulang.
Belum sempat perempuan sebaya itu berdiri dari tempat duduknya, Nur
segera memegang tangannya. Ia tak ingin teman dekatnya itu cepat-cepat
meninggalkan dirinya. Ia bingung harus memulai dari mana untuk meyakinkan
perempuan kota
metropolitan itu bahwa ia benar-benar butuh bantuan.
“Mbak, maukah sampeyan membeli meja belajar anak saya?”
Mbak Ningsih langsung trenyuh. Betapa kasihan melihat Nur yang dikenalnya
sebagai salah seorang anggota pengajian paling aktif itu harus mengalami
masa-masa pahit. Ia pun mengurungkan niatnya untuk pulang.
“Rencananya dijual berapa Mbak?”
“Terserah Mbak Ningsih sajalah mau
ambil berapa. Yang penting saya masih punya pegangan untuk besok. Toh meja
belajar anak saya juga sudah lapuk.
Tak tahan melihat kesedihan Nur, Mbak Ningsih segera mengasihkan uang lima puluh ribu kepadanya.
Digenggamnya tangan Nur erat-erat. “Hidup memang susah, Mbak, tapi Tuhan punya
rencana”, katanya dengan halus.
*****
Pagi hari. Perempuan-perempuan dengan segar bergegas ke pasar. Belanja
menu istimewah buat sang suami. Tapi tidak bagi Nur. Perempuan itu tidak lagi
semangat untuk belanja apalagi berolahraga. Ia memilih untuk tetap di ruang
tamu. Memandang dedaunan lewat tirai jendela. Membayangkan suaminya segera
pulang.
“Bu, Meja belajarnya jadi diantar sekarang?” Udin mengagetkan lamunannya. Anak semata
wayang itu tak berkomentar apa-apa setelah diberitahu kalau meja belajar itu
bukan lagi miliknya.
“Usahakan diam-diam. Jangan sampai ketahuan tuan rumah. Setelah ini kita
akan pergi ke rumah Lek Ji sampai beberapa hari”.
*****
Di rumah saudaranya itu, Nur ternyata tidak menemukan kedamaian seperti
yang ia harapkan. Pikirannya bertambah tidak tenang. Hampir setiap saat ia
terlihat murung dan berbicara sendiri. Keempat anak Lek Ji yang diasuhnya itu
pun belum bisa membantu mengalihkan perhatiannya pada masalah yang ia hadapi.
Bahkan, Nur sering dihantui mimpi-mimpi buruk. Hari-hari di rumah Lek Ji seakan
menjadi pasungan bagi dirinya sendiri. Seperti perempuan yang menunggu mati.
Akhirnya Nur memutuskan untuk kembali ke kontrakannya di Surabaya. Dijualnya sisa
harta miliknya. Mulai dari sepeda ontelnya yang jarang dipakai, pakaian suami,
lemari dapur sampai perabotannya yang rencananya buat hajatan pernikahan Udin
jika kelak sudah waktunya. Tak ada yang tersisa kecuali beberapa pakaian
miliknya. Hasilnya pun lumayan meski baru seperempat dari total hutang
suaminya. Setidaknya, ia dapat meyakinkan penagih hutang itu bahwa ia akan
melunasinya. Tanpa harus lari dan sembunyi.
Sedang urusannya dengan pemilik rumah, Nur sudah meminta maaf dan
menjelaskan semua persoalan dirinya. Nenek tua itu pun memberikan perpanjangan
sampai bulan depan. Betapa leganya perasaan Nur saat itu. Tinggallah suaminya
yang ia rindukan. Ya, lelaki itu, semoga ia baik-baik saja. Entah bagaimana
harus diceritakan.
Jogjakarta,
Februari 2008