Senin, 18 Januari 2016

puisi dalam kuil kesunyian



Dalam kuil kesunyian 2

dalam kuil kesunyian aku dapat melihat sepasang matamu
memintaku pulang
kau sandarkan rindu
mengenang segala kepahitan
dalam kuil kesunyian aku dapat melihat semuanya
yang membuat hari-harimu penuh doa dan airmata
dalam kuil kesunyian kugenggam jiwamu
dan kuyakinkan bahwa doamu menyala 



Musi Rawas, Januari 2016

Minggu, 17 Januari 2016

Puisi semalaman

semalaman

semalaman kau menangis
semalaman kau bertarung diri dengan sejuta luka dan rasa sakit
semalaman jiwamu nyaris musnah
semalaman pula seseorang membilas luka itu dengan jiwanya
lalu hujan jatuh menyegarkan daun-daun kering dan debu
yang leleh di pipimu

pagi itu matamu teramat teduh
memancarkan ketabahan tanah dari jejak sunyi
yang dikandungnya



Musi Rawas, hujan hebat 2015

Puisi Pelangi dan gerimis

Pelangi dan gerimis

di bawah langit hitam anakanak pulang
dibasuh rintik menjelang maghrib
pada rumahrumah yg nyaris hilang oleh senja
anakanak kebun surga -pelangi yg membusur di langit doa
akan sampai pula pada rindu
berkirim sedekah dan bunga
atau sekedar bercerita tentang pohonpohon yg bergetah oleh deras keringat petaninya
saat mata dan jiwa ini tak lagi terjaga


Musi Rawas, di tengah gerimis 2015

Puisi Sebatang pohon dan puisi sore itu

Sebatang pohon dan puisi sore itu

sebatang pohon tumbang dihempas angin sore itu 
lalu hujan lahir puisi
 "cabutlah! yang mati sudah kembali dari tanah ke tanah"
bahkan dia belum sekarat, sebatang pohon yg tumbang sore itu 
hanya sujud pada yg mengasuh 
daunnya yang hijau menggelar doa 
biar luka menganga ia tetap segar bersama puisiku 
sebatang pohon yg tumbang sore itu tak minta disentuh 
matahari akan memapahnya bangkit terus tumbuh bersama puisiku 
sepanjang sore sepanjang bulan sepanjang memberi harapan untuk pohon dan puisi yg akan tumbang oleh angin di sore yg lain

Puisi Sajak laron

Sajak laron

langit pucat, sayangku
bintangbintang padam
si mata gadis tenggelam
kau dengar geluduk itu?
kemana aku dan kau kan terbang?
tanahtanah beranjak basah
tunggulah aku di ladang cahaya
di sana sayapsayapku kan patah
bukan demi duka
tidak juga penyesalan
aku bahagia dengan umur semalam
: mencintaimu
dan mati esok pagi



Musi Rawas, listrik yang genit, Mei 2015

Puisi petang di sungai rawas

Petang di sungai rawas


Batang-batang beranjak ramai. Orang-orang silih berganti mencuci dan mandi.
Batang-batang terhuyung, disapu perahu yang menderu. Anak-anak berterjunan menerjang ombak, melawan deras sungai, mengapung-apung di sisiku, lebur rinduku.
Seorang lelaki –dengan helai doa di mata, memandikan anaknya yang belum genap sebulan ditinggal mati ibunya.
Anak itu menatap wajahku, seolah kenal seseorang  yang telah menanam jenazah ibunya di suatu tempat yang jauh.
Matahari kian memerah saat sampan-sampan merapatkan petani pulang dengan sekeranjang sayur dan pisang untuk dijual  di seputaran desa –di sini gaji buruh kebun tak cukup mengepulkan dapur.
Kutenggelamkan tubuhku dalam sungai yang susut, seperti masa depan anak-anak desa ini yang limbung oleh kereta pesta remix, meja taruhan dan narkoba. Wajah-wajah muda yang berkarat itu kutemukan menggasing  dalam lumpur, ranting-ranting patah dan arakan sampah.
Nyalahkan lampu di kaki-kaki rumah!, pintaku. Sungguh, malam sebentar lagi singgah.
Lalu kuangkat tubuhku dari sunyi sungai. Matahari perlahan hilang, meninggalkan batang-batang yang tak pernah lelah menyimak jejak harapan, meski aku atau siapapun telah tiada.  


Muratara, 18 Oktober 2014




* Batang : MCK yang terbuat dari batang-batang pohon yang diapungkan di sungai.

Puisi salik

Salik

Biarkan dirimu mengembara dalam hutan dan jurang
Pada mulanya para nabi dan alim saleh pun demikian
mereka tak pernah takut
segala yang ditakutkan telah hanyut ditebang, dibakar
cukup diambil sarinya, disemai-ditanam lagi
bermasa-masa, berkubang amuk dan prahara
sampai langitnya menganga, hijab-hijab terbuka
lalu tumbuhlah kunang-matahari
Namun Jiwamu harus sebening telaga
kau ambil dari sang penciptanya
Maka kau kan jadi sungai –bukan hanya air
Dan segala miliknya


Surabaya, menjelang terbang 2013

Puisi apa kabar, kawan?

Apa kabar, kawan?

Melihat gambarmu berubah belati
Mengacung di dadaku lalu mengulitinya dengan halus
Tumpah darah rindu
Dan kisah demi  kisah terburai
Setengah sadar, kukais jejakmu yang tertinggal
Sudah di tikungan manakah dirimu?
Kau dan aku terlalu jauh
Kita tak saling mengejar sebab tak ada yang merasa ditinggalkan
Samar-samar wajahmu mematung, senyummu semakin ingin kutangkap lagi
Beserta wajah-wajah yang lain
Kita bagai rombongan semut kala itu

Dunia tak benar selebar daun kelor
Tak pernah kudengar lagi salam dan nasibmu


Surabaya, di antara musim hujan dan kemarau 2013

Puisi sidang para penyair

Sidang para penyair

para penyair dunia berkumpul, di gedung teater eksklusif
berbincang perihal puisi, hidup mereka sendiri
what is poetry?

jebakan! ini adalah jebakan, kata salah seorang penyair
merumuskan puisi itu sama halnya dengan membunuhnya, maka biarlah ia melompat-lompat dari jiwamu, berterbangan di angkasa hingga menemui dirinya sendiri yang tak seorang pun dapat mengenali, hanya merasakan.
seperti udara yang menjeratmu, membuatmu takut hingga sekujur tubuhmu menggigil dan menjadi hangat
seperti diriku, kata penyair lain, yang tak dapat melihat diriku sendiri, dan ketika berpindah arah, tak lagi kulihat diriku di tempat semula.
aku dapat berlari, menukik dan terhuyung, namun mataku tak sampai-sampai merekamnya. maka puisi adalah diriku, manusia, lalu  apa kau masih belum juga mengenalnya?
pendidikan formal telah mengkerdilkan puisi, jawab penyair lain.
jadi mari mengais-mengais fungsi puisi saja!
dikatakan, puisi dapat mencegah manusia dari kebinatangan, melawan penjajah, memerdekakan yang tertindas, melahirkan damai di bumi, menjadi cahaya di gelap-gelap jiwa dan fikiran. dengan puisi manusia mendapatkan dirinya yang utuh, sebab jiwanya terjaga, dan akalnya  waspada.
filsafat dan agama pun membutuhkan puisi, sebab itu puisi adalah agung. satu dari sekian mukjizat yang diberi tuhan pada manusia pilihan

dan penyair-penyair dunia itu bersilat-puisi bak  alim saleh dan pendeta dengan kitab puisinya.
setelahnya seseorang bertanya : apakah kalian dapat berkisah padaku bagaimana puisi-puisi itu kalian lahirkan, siapa tahu diri ini dapat menjadi bagian dari misi perjuangan?
wani piro?! ada uang ada pengetahuan! balas mereka.

Puisi yang berserakan

Orang-orang makam

kami senantiasa berkabung
oleh arakan kematian
sejak sore
hijaulah duka kami

jalanan tak lagi anggun
rumah-rumah adalah ring pertarungan
mati satu tumbuh seribu pembunuh
pertempuran sudah menjadi air terjun
dan sungai-sungai yang menuju samudera
di mana-mana


Yang mengenangmu
/tuna wisma

sungguh jika aku daunan hijau dan segar
kan kubalutkan diriku
mengkafani jiwamu yang mati
yang membuatmu patah seperti boneka kayu
di ladang-ladang tandus berbatu

di bawah matahari dan bulan kau pasukan kecil
dari gorong-gorong dan tong sampah
dari lubang tikus yang dikencingi
melawan kehidupan yang aromanya bangkai
kau juga seonggok pasir yang melata
di kaca-kaca
di laras sepatu yang saling silang dengan tergesa
sampai kekalahanmu menebal
mengalahkan rompi perang yang berabad-abad kau dekap

malam itu kau terjungkal di parit paling dalam
tanganmu menjulur-julur ke bulan
melemparkan syair-syair kebisuan
-supaya mengedip si mata langit itu-

kekalahan telah membuatmu mabuk
namun syairku mengenangmu


Upacara pengembalian

ning     nong    ning
ning     nong    ning     glung
ning     nong    ning
ning     nong    ning     glung

pulanglah, Nak!
pulang dengan kembang dan kemenyan yang kau telan
jaranan-kuda-kuda ksatria itu berbaris mengarakmu
dan kami gapura kepergian
pulanglah, Nak!
pulang dengan hikmat
sebagaimana leluhur menari dengan tembang dan gamelan

ya        e
ya        e
hok      hok      hok      ya!


Perempuan dan airmata

meja dan bangku telah kau sentuh
kau sujudkan bagai jamaah saleh yang makmum
engkaupun sujud dibalut cahaya dan angin di bawah gunung
gersang pohon-pohon berduri berjemuran di luar jendela
bagai peluru kiriman menggapai-nggapai rumah kita
dan siap diledakkan

engkau tertidur pagi-pagi benar
di atas tanah yang baru saja kau sucikan
matamu mengembun mengalahkan daun-daun yang tak lagi dingin

jangan kibaskan luka dengan airmata
sebab kita terlalu lelah menangis
apa kita menunggu seseorang menghujamkan anak panahnya ke dada kita
seperti perang suku di Timika
atau mendongakkan kepala dengan mulut megap-megap menelan puluhan rudal yang dijejalkan dari udara
seperti lagu pahit anak-anak Irak
perempuan-perempuan Palestina
dan sejuta tubuh yang nyawanya mengejang di tenda-tenda pengungsian

jangan jawab aku dengan bibir pucat
meski kau rindu tangismu!

matahari merangkak naik
bola-bola dunia terus berputar
rumah kita semakin banyak ditinggalkan
engkau wanita muda, berdiri di wajah negeri yang berdebu
dengan airmata, meja dan bangku yang tak lagi sujud

engkau pun bergegas bangun
dan selangkah demi selangkah tubuhmu sirna dari mataku



Selokan dan bintang jatuh

di atas selokan bintang jatuh
tak berekor lalu mati
bintang yang kalah dari pertarungan
hendak berkabar pada semesta yang subur:
“akulah bintang yang gugur dari padang kebisuan dan sunyi yang mengerak
akulah martir alam raya
bertahan untuk kematian yang tersembunyi
sebab udara memadat dan tubuh-tubuh berapi
jutaan cahaya adalah batu angkasa
berputar-putar kemudian meledak
akulah cahaya yang jatuh dari gubuk-gubuk penceng dan andromeda”

di atas selokan bintang jatuh
tak menggetarkan keruhnya air
ikan-ikan tetap ramai berenang

Puisi kening

Kening

kening apa kabar?
Siangmu yg sunyi mengajakku pulang
batu-batu kapur terbentang sepanjang jalan kampung sawah-ladang
di depan rumah bambu-bambu berderit lirih, daunnya tergerai angin, melambai pada yg pergi-mungkin tak kembali
kolam-kolam buritan, airnya yg hijau lumut tenang menampung hujan dan banjir bengawan
seperti jiwamu yg tabah nerima perubahan
kesantunan mengalir jernih bersama keringat petani dan penggembalamu
langgar tua apakah anak-anak masih sembahyang-mengaji?
O wajah-wajah mereka berkilauan mendekap kitab suci, akankah putus sekolah dan berubah menakutkan?

Puisi sarare ra ra ra

Sarare ra ra ra


Genderang puja-puji bertabuhan dari ruang sunyi; mengerahkan kekuatan lain yang lebih kuat dari bentuk-bentuk yang terlihat,  menggempur yang resah, menerangi yang gelap, menjemput yang lumpuh dan sekarat, kembali pada yang kekal, pada yang menggenggam, yang padanya semua berpulang.

Sarare ra ra ra, sarare ra ra ra.
Kami menujumu, wahai yang hidup. 
Kami yang berjatuhan dari pohon-pohon terlarang, seperti buah-buah api yang mungil namun membakar.

Sarare ra ra ra, sara re ra ra ra.
hanya ini milik kami: lidah-lidah terpotong, kaki dan tangan terpasung, air mata tak dapat lagi dipercaya, sebab tubuh tak lagi diri, melainkan batang-batang padi yang senantiasa dianyam jadi orang-orangan -tempat lelembut memainkan bayang-bayang keresahan.

Sarare ra re ra ra
hanya ini doa kami, dan hanya engkau zat yang maha mendengar lagi maha tahu.




Jogja, 2011

Puisi dalam kuil kesunyian

Dalam kuil kesunyian
suara-suara menghilang
malam merayap menggali lubang masal
yang meledak meninggalkan bangkai
yang terbakar mengunyah bara di tubuhnya
yang tak akan mati mendengar tangis dan bisikan

Puisi jiwa-jiwa bertaring

 Jiwa-jiwa bertaring

jiwa-jiwa bertaring -lebih runcing dari kaktus padang pasir- berjatuhan dari gelap-gelap kereta tua yang sesak dan terhuyung
bergelimpangan di jalan, di pasar-pasar, di gedung subur dan meja makan
merambati pohon, menjadi lebah-lebah tak bermadu yang siap
menyengat alam sadarmu sampai kau benar-benar lupa siapa dirimu.
tak akan lama kau pun segera menggelepar-ngglegar, tatapanmu pudar dan jiwamu, lebih runcing dari kaktus padang pasir.

lalu sebagian dari jiwamu yang selamat kau tanamkan dalam liang lahat -tempat paling suci untuk mengingat lagi, mencari yang hilang dan yang belum ditemukan.
dan di kegelapan itu, hari-harimu adalah medan paling getir dari semesta pertarungan untuk sekedar terlahir kembali, ke rumah cahaya, menjadi jiwa yang luluh, yang dengan sadar bersaksi siapa pengasuhnya, dan untuk apa ia ada.

Puisi diri dan diri

 Diri dan diri

Siapakah dirimu wahai diriku?
Kenapa kau jatuhkan air mata sedang jiwamu batu?
Kenapa kau berteriak bak gempa sedang jiwamu batu?
Kenapa pula kau menggeliat-geliat di kanvas bundar ini sedang jiwamu batu?
Pedang yg kau genggam, diriku, pun membatu.
Tak mampu kau kibaskan ke penjuru mata angin.
Sedang engkau terlahir sebagai ksatria.

Puisi syair bambu runcing

 Syair bambu runcing
dengan kedua tanganmu, Malik, syair-syairku bambu runcing.
kuusir segala ketakutan yang membakar kotaku
: jiwa yang tak berbendera
dengan keharuman yang semerbak di pucuknya, Malik, segera kusucikan mayatku yang tak kau cintai
jawablah
jawablah sebagaimana engkau menjawab kekasih-kekasihmu dengan bahtera yang melayari banjir; suara yang mendzikirkan burung dan daunan; serta kalimat-kalimat agung yang senantiasa berdengung
 

syair-syairku bambu runcing di lembah-lembah cadas -tempatku terlempar dan mengenalmu.