Minggu, 17 Januari 2016

Puisi yang berserakan

Orang-orang makam

kami senantiasa berkabung
oleh arakan kematian
sejak sore
hijaulah duka kami

jalanan tak lagi anggun
rumah-rumah adalah ring pertarungan
mati satu tumbuh seribu pembunuh
pertempuran sudah menjadi air terjun
dan sungai-sungai yang menuju samudera
di mana-mana


Yang mengenangmu
/tuna wisma

sungguh jika aku daunan hijau dan segar
kan kubalutkan diriku
mengkafani jiwamu yang mati
yang membuatmu patah seperti boneka kayu
di ladang-ladang tandus berbatu

di bawah matahari dan bulan kau pasukan kecil
dari gorong-gorong dan tong sampah
dari lubang tikus yang dikencingi
melawan kehidupan yang aromanya bangkai
kau juga seonggok pasir yang melata
di kaca-kaca
di laras sepatu yang saling silang dengan tergesa
sampai kekalahanmu menebal
mengalahkan rompi perang yang berabad-abad kau dekap

malam itu kau terjungkal di parit paling dalam
tanganmu menjulur-julur ke bulan
melemparkan syair-syair kebisuan
-supaya mengedip si mata langit itu-

kekalahan telah membuatmu mabuk
namun syairku mengenangmu


Upacara pengembalian

ning     nong    ning
ning     nong    ning     glung
ning     nong    ning
ning     nong    ning     glung

pulanglah, Nak!
pulang dengan kembang dan kemenyan yang kau telan
jaranan-kuda-kuda ksatria itu berbaris mengarakmu
dan kami gapura kepergian
pulanglah, Nak!
pulang dengan hikmat
sebagaimana leluhur menari dengan tembang dan gamelan

ya        e
ya        e
hok      hok      hok      ya!


Perempuan dan airmata

meja dan bangku telah kau sentuh
kau sujudkan bagai jamaah saleh yang makmum
engkaupun sujud dibalut cahaya dan angin di bawah gunung
gersang pohon-pohon berduri berjemuran di luar jendela
bagai peluru kiriman menggapai-nggapai rumah kita
dan siap diledakkan

engkau tertidur pagi-pagi benar
di atas tanah yang baru saja kau sucikan
matamu mengembun mengalahkan daun-daun yang tak lagi dingin

jangan kibaskan luka dengan airmata
sebab kita terlalu lelah menangis
apa kita menunggu seseorang menghujamkan anak panahnya ke dada kita
seperti perang suku di Timika
atau mendongakkan kepala dengan mulut megap-megap menelan puluhan rudal yang dijejalkan dari udara
seperti lagu pahit anak-anak Irak
perempuan-perempuan Palestina
dan sejuta tubuh yang nyawanya mengejang di tenda-tenda pengungsian

jangan jawab aku dengan bibir pucat
meski kau rindu tangismu!

matahari merangkak naik
bola-bola dunia terus berputar
rumah kita semakin banyak ditinggalkan
engkau wanita muda, berdiri di wajah negeri yang berdebu
dengan airmata, meja dan bangku yang tak lagi sujud

engkau pun bergegas bangun
dan selangkah demi selangkah tubuhmu sirna dari mataku



Selokan dan bintang jatuh

di atas selokan bintang jatuh
tak berekor lalu mati
bintang yang kalah dari pertarungan
hendak berkabar pada semesta yang subur:
“akulah bintang yang gugur dari padang kebisuan dan sunyi yang mengerak
akulah martir alam raya
bertahan untuk kematian yang tersembunyi
sebab udara memadat dan tubuh-tubuh berapi
jutaan cahaya adalah batu angkasa
berputar-putar kemudian meledak
akulah cahaya yang jatuh dari gubuk-gubuk penceng dan andromeda”

di atas selokan bintang jatuh
tak menggetarkan keruhnya air
ikan-ikan tetap ramai berenang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar