Selasa, 23 April 2013

Cerpen : Monumen bambu (tak) runcing

                                                          Monumen Bambu (Tak) Runcing
                                                                                                                     Cerpen oleh : Hais Abdurrahman

Sore itu tiba-tiba hujan deras. Jalanan padat dan rumah yang masih jauh, memaksa saya berteduh di emperan sebuah gedung. Tak sengaja mata saya tertuju pada sebuah monumen yang tegak berdiri di tengah jalan raya: Bambu Runcing! Betapa gagahnya monumen tersebut. Berdiri kokoh di jantung kota. Ya, sebuah monumen yang dibangun untuk mengenang perjuangan rakyat Indonesia, khususnya arek-arek Suroboyo dalam mengusir penjajah. Sebuah monumen yang konon menyimpan sejuta semangat dalam merebut hak-hak kemerdekaan, hak-hak hidup dan kemanusiaan yang telah dirampas beratus tahun. Sebuah monumen yang setiap hari seolah berteriak pada kami: Jangan pernah takut dengan penjajah-penjajah itu, anakku! Lawanlah dengan apapun yang kau punya, meski hanya dengan sebatang bambu!.
Bambu runcing! Ya, tiba-tiba saja saya tertawa melihat monumen tersebut. Semakin tinggi saya melihat moncong monumen itu, semakin tinggi pula saya tertawa. Saya terus tertawa, terbahak. Lalu airmata saya jatuh. Saya tertunduk.
***
Suatu hari, Pak Abu hanya diam di beranda rumahnya. Mulutnya tak pernah berhenti dari asap rokok. Matanya menatap langit jauh, namun pikirannya entah kemana.
“Lalu apa yang akan Mas lakukan sekarang?”, tanya istri Pak Abu.
Sejenak Pak Abu menghela nafas, “Rakyat biasa apalah daya”, jawabnya pasrah.
Pak Abu dan istrinya lalu diam, sama-sama menatap langit jauh.
***
Bulan-bulan yang lalu Pak Abu mendapat tawaran kerja di luar kota dari Pak Kadib, seorang makelar proyek. Menggarap kerangka gudang, katanya. “Bosnya orang bule kaya raya, cukup profesional dan mudah untuk urusan keuangan”, tambah Pak Kadib lagi. Dengan mudah, Pak Kadib dapat meyakinkan Pak Abu mengenai prospek kerjaan tersebut. Pak Abu pun mengamini semua yang diungkapkan oleh Pak Kadib yang konon telah malang-melintang di dunia kontruksi.
Bagi Pak Abu kerjaan ini adalah peluang di luar proyek kantor, jadi ia pun sangat senang mendapat tawaran tersebut. Beberapa karyawan Pak Abu yang telah mahir dalam pekerjaan baja tersebut ia kerahkan ke kota tujuan, sedang Pak Abu memimpin pekerjaan dengan tetap tinggal di Surabaya. Ia hanya datang ke lokasi di awal pengerjaan, selanjutnya ia datang seminggu atau dua minggu sekali, tidak pasti, tergantung waktu dan kesempatan yang ia punya, sebab ia masih punya kerjaan lain dari kantornya yang harus ia tangani juga di sekitar Surabaya.
Awalnya kerjaan dari Pak Kadib tersebut berjalan dengan tanpa hambatan. Material baja beserta peralatan dalam pembangunan gudang tersebut sudah tersedia. Karyawan Pak Abu pun mengerjakan pekerjaan tersebut dengan baik, sesuai instruksi dari Pak Abu sendiri.
Selang sebulan, sebagian dari hasil kerjaan tersebut sudah terlihat, dan Pak Abu bersukur pekerjaan tersebut berjalan lancar meski baru sebagian. Ia pun bermaksud meminta gaji pada Pak Kadib sesuai dengan hasil yang ia kerjakan.
Uang hasil kerjaan tersebut memang dikasih oleh Pak Kadib, namun besarnya tidak sesuai dengan yang diopnam. Besarannya hanya cukup buat transportasi dan konsumsi Pak Abu pulang-pergi. “Sisanya seminggu lagi turun, Pak”, kata Pak Kadib meyakinkan.
Tentu saja Pak Abu sedikit kecewa dengan hasil tersebut, karena selama sebulan dalam pengerjaan gudang itu, ia memakai modal keuangannya dari gaji proyek yang ia dapat dari kantornya di Surabaya. Belum lagi ia mempunyai karyawan kurang lebih lima puluhan orang yang perlu juga dihidupi. Tentu semua itu menjadi tanggung jawabnya selaku mandor. Jadi, semua gaji yang ia terima dari proyek yang ia dapat dari kantor, ia putar secukup mungkin untuk kelancaran semua pekerjaan yang ia pimpin. Sedang pemasukan bagi dirinya? Nol.
Namun meski demikian keadaanya, Pak Abu mencoba untuk tetap tenang.
“Yang penting kerjaan tetap berjalan, dan karyawan kita tetap dapat makan dan menghidupi keluarganya. Kasihan kalau mereka tidak didahulukan, bisa-bisa mereka akan berhenti bekerja. Kalau sudah begitu, kita juga nantinya yang repot. Sebab bagaimanapun juga mereka adalah jalan bagi pekerjaan kita. Merekalah yang mempunyai andil besar dalam suksesnya pekerjaan kita. Kalau tak ada mereka, apa bisa kita menyelesaikan semua pekerjaan? Lagian tidak ada salahnya kita mempercayai atasan kita. Sebab, kerja itu harus didasari dari rasa saling percaya. Dengan begitu apa yang kita kerjakan dapat berjalan dengan maksimal. Ya, mudah-mudahan saja apa yang dijanjikan Pak Kadib itu benar”, kata Pak Abu suatu hari.
***
Sebulan kemudian, Pak Abu dapat kabar dari karyawannya kalau pekerjaan tersebut sudah hampir selesai. 80 % pekerjaan sudah terlihat hasilnya, tinggal mengerjakan bagian-bagian kecil yang lain. Pak Abu sangat senang mendengar kabar tersebut. Ia pun memutuskan untuk pergi ke lokasi. Sampai sana, ia kemudian mengabari Pak Kadib sekaligus menagih janjinya. Dari sebuah pesan sms, Pak Kadib menjawab kalau dananya belum ada, sebab si bos susah untuk dihubungi, apalagi dimintai dana.
Mendengar jawaban tersebut, tentu saja Pak Abu sangat kesal. Ia merasa dipermainkan oleh Pak Kadib. Tak henti-henti Pak Abu menggerutu sendiri di depan karyawannya.
Setelah menghisap beberapa puntung rokok, Pak Abu pun diam menenangkan diri. Ia berusaha untuk tidak marah pada Pak Kadib.
“Bagaimana kalau tidak kita teruskan saja sisa pekerjaan ini?”, cletup salah satu karyawannya.
“Jangan, nanti malah kita tidak dapat apa-apa kalau si bos terlanjur marah. Bisa saja ia mengganti kita dengan orang lain, dan gaji kita selama ini dengan mudah ia lupakan”, jawab Pak Abu.
“Kita lapor saja ke polisi”, timpal yang lain.
Pak Abu tersenyum sinis.
“Butuh dana besar untuk membawa persoalan ini ke meja sidang. Pendapatan yang kita terima, tak akan cukup melawan orang-orang yang berkantong besar seperti mereka. Bisa-bisa kita dituduh balik dengan pasal pencemaran nama baik. Bisa rugi besar kita. Bahkan bisa masuk penjara. Di zaman ini, di negeri ini, semuanya membutuhkan modal besar. Siapa kaya, dia juara, yang miskin, hanya jadi bola golf permainan mereka”. Pak Abu diam sejenak, memandangi kerjaannya yang sudah hampir jadi.
“Sudah, kalian kerjakan saja semuanya sampai selesai. Ini memang resiko dari pekerjaan saya. Biarlah ini menjadi urusan saya. Kerjakan saja semuanya dengan baik. Mudah-mudahan ketika kerjaan ini selesai, gaji kita segera turun.
***
Sekali lagi Pak Abu harus pulang dengan tangan hampa. Dalam situasi seperti ini ia harus kembali menguras otak dan ekonominya untuk dapat menghidupi anak buahnya, agar pekerjaan tetap lancar dan berhasil. Semua harta-benda yang ia miliki ia gadaikan, tidak sedikit yang ia jual. Hasilnya lumayan untuk dapat bertahan sampai beberapa hari.
Akhirnya satu persatu proyek yang Pak Abu dapat dari kantornya telah selesai ia kerjakan. Namun tetap saja, pendapatan dari proyek tersebut belum cukup untuk memenuhi semua kebutuhan keluarga dan karyawannya. Pendapatan tersebut hanya cukup untuk membayar tagihan-tagihan peralatan yang ia sewa selama proses pekerjaan.
***
Kurang lebih tiga mingguan berikutnya pekerjaan di luar kota itu sudah selesai. Kerangka gudang itu berdiri kokoh di antara pemukiman masyarakat desa. Entah mau dijadikan apa. Semua karyawan Pak Abu pun pulang ke Surabaya diantar Pak Kadib.
“Bagaimana, Pak, dananya?”, tanya Pak Abu pada Pak Kadib suatu malam melalui telepon seluler.
“Waduh, Pak, dananya belum cair. Bosnya susah kalau dimintai dana”, jawab Pak Kadib ringan.
“Tolonglah, Pak, saya diusahakan, dibantu. Bapak tahu sendiri kalau saya juga punya banyak tanggungan”.
“Iya, saya tahu, tapi si bos ini loh yang repot urusan keuangannya”.
“Kata Bapak bosnya royal dalam masalah keuangan. Seharusnya Bapak lebih berusaha lagi untuk dapat mengucurkan dana dari atasan. Bapak kan tangan kanan atasan, Bapak juga yang memberi kerjaan, mengawasi serta melaporkannya pada atasan atas hasil-hasil yang telah diperoleh di lapangan. Bapak juga harus bertanggungjawab atas permasalahan ini. Jangan hanya pasrah menunggu dari atasan, lalu diam dari masalah”.
“Pokoknya Bapak tunggu saja. Nanti kalau dananya sudah cair akan saya hubungi”.
“Kalau atasan Bapak belum bisa memberikan dana, setidaknya dana Bapak dulu yang saya pakai buat menalangi tanggungan saya”.
Tiba-tiba telepon terputus. Tak ada suara. Berkali-kali Pak Abu mencoba menghubungi Pak Kadib lagi, selalu tak tersambung. Pak Abu lunglai di kursi tamu, diam memandang asap rokoknya yang terbang, lalu hilang dari pandangan.
***
Hari-hari setelah pekerjaan luar kota itu usai, Pak Abu belum dapat kerjaan lagi. Puluhan karyawannya pun menganggur, tak ada lagi yang dapat dijadikan modal awal. Semuanya telah habis terkuras. Tak ada kabar dari Pak Kadib. Makelar proyek itu seolah hilang dari peredaran. Setiap kali Pak Abu menghubunginya, selalu nada tunggu yang ia terima. Hanya menunggu dan menunggu.
Namun tidak bagi karyawan Pak Abu, mereka tak bisa menunggu sesuatu yang tak tentu. Mereka masih sangat muda, otot dan semangat mereka masih kuat untuk mencari nafkah. Satu persatu dari mereka pun memutuskan untuk keluar meninggalkan Pak Abu, dan berjuang mencari kerja lagi, agar tak jadi pengangguran tentunya. Apapun kerjaannya, yang penting halal, demi anak-istri di rumah.
***
Setelah sekian bulan, terdengar kabar bahwa gudang yang pernah dikerjakan Pak Abu dan karyawannya itu telah resmi dijadikan pabrik besar di kotanya, menghabiskan milyaran rupiah untuk penghasilan berkali lipatnya. Dibangun dengan menggusur tanah-tanah milik orang desa dan menggantinya dengan upah-upah minim, bagi siapa saja yang bekerja di dalamnya. Menjadikan mereka sapi-sapi perah yang siap diperas susunya.
***
Sore itu, saya saksikan monumen Bambu Runcing tegak berdiri, di kota pahlawan ini, diguyur hujan dan debu jalanan, menjadi batu mati yang ruh perjuangannya dibawa para pahlawan mati, menyisakan anak-cucu yang kian tak berdaya melawan penjajah-penjajah baru dari dalam dan luar negeri.
***
Sidoarjo, 05 Desember 2011

Cerpen : Arang di kota kami



Arang di kota kami
Oleh: Hais Abdurrahman

            Anak itu datang lagi. Menancapkan kedua kakinya yang telanjang pada jalanan beraspal. Tubuhnya kurus kian tersambar terik matahari. Sesekali tangannya mengibaskan keringat yang mengembun di wajahnya.
            Sebentar ia berhenti di pinggir jalan. Kedua matanya tak henti-henti mengamati orang-orang yang sibuk membaca koran sambil duduk-duduk di depan mall. Tak lama ia pun bergegas menghampiri salah seorang dari mereka.
            “Mau disemir sepatunya, Pak?”
            “Boleh”.
Orang itu melepas kedua sepatunya yang sudah kental dengan sejuta debu kota. Lalu membolak-balikkan korannya. Anak itu mulai bekerja. Perasaannya agak tenang setelah separuh hari ia berkeliling dengan tangan hampa.
            “Siapa namamu, Dik?”
            “Arang”
            “Masih sekolah?”
            “Tidak, Pak”
            Orang berjas hitam itu terus membolak-balikkan korannya. Seperti tidak puas dengan hanya membaca satu berita.
            “Sudah lama menyemir sepatu?”
            “Ya, kira-kira sudah lima tahunan, Pak. Tapi terkadang saya juga menjual koran di perempatan”.
            “Kamu tinggal di mana?”
            “Tidak tetap, Pak. Terkadang saya tinggal di stasiun atau terminal, terkadang juga di kos teman”.
            “Lalu orang tua kamu?”
            Seketika Arang terdiam mendengar pertanyaan itu. Kedua tangannya serasa lemas untuk melanjutkan kerjanya. Tatapannya menerawang kosong ke bawah.
            “Kok diam?” Tanya orang itu sambil melipat korannya.
            Setetes demi setetes airmata Arang meleleh, membasahi sepatu yang telah disemirnya. Seketika ia membersihkannya lagi. Orang itu ikut diam. Pikirannya meraba jauh sikap Arang yang berubah aneh. Tiba-tiba ia teringat sebuah berita di televisi dan koran-koran tentang seorang anak yang ditinggal mati kedua orang tuanya akibat banjir dan tanah longsong bulan Januari. Ia juga teringat dengan maraknya aksi penculikan terhadap anak-anak di bawah usia untuk diperjual-belikan. Dan masih banyak lagi peristiwa yang lain.
            “Sudah selesai, Pak”
            Suara Arang mengagetkan orang itu dari lamunannya. Cepat-cepat ia mengeluarkan uang satu lembar sepuluh ribuan dari dompetnya.
            “Tidak ada kembaliannya, Pak”. Sambil terus meraba saku celana pendeknya.
            “Tidak apa-apa, kembaliannya buat kamu saja”
            “Kalau begitu terima kasih, Pak”.
            Arang membereskan alat-alat kerjanya, lalu beranjak pergi. Sedang orang itu masih di situ, kembali membolak-balikkan korannya, sampai datang mobil utusan yang mengantarnya ke tempat tujuan.
*****
             Matahari terang. Kota perkasa. Pohon-pohon gundul, gedung-gedung tumbuh subur, asap polusi kendaraan menggunung menjadi campuran bumbu masak rumah makan di jantung kota metropolitan. Sambil menengok laju kendaraan, Arang menyeberangi perempatan demi perempatan. Memasuki gang-gang sempit dekat terminal. Sampailah ia di tempat yang asing oleh siang, sebab matahari tertutup oleh puluhan loteng kamar. Untung saja ada lampu yang menyala di salah satu kamar itu, sehingga tamu yang masuk tak sempat membentur dinding ruangan.
Arang memasuki ruangan yang berukuran empat kali empat. Sebuah kamar kos-kos-an yang relatif murah di pojok kampung pinggiran kota. Sepi. Sayup-sayup terdengar alunan fals suara pemuda yang lagi bermain gitar di kamar sebelah. Arang memanggil-manggil nama Cak Budi. Tak ada jawaban. Ia langsung merebahkan tubuhnya di atas tikar. Tak terasa ia pun terlelap di bawah remang-remang lampu kamar.
Tiba-tiba ia merasakan sakit di kepalanya. Seketika ia membuka mata. Cak Budi menjambak rambutnya.
“Dasar pemalas! Jam segini molor. Sudah berlagak bos, ya?!”
Arang tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya mengerang-erang kesakitan.
“Ampun, Cak! Ampun!. Hari ini semirku habis. Uang hasil menyemir sudah habis kubelikan makan. Aku ke sini bermaksud pinjam uang buat beli semir baru”.
“Pinjam uang?! Memangnya aku ini kaya?! Kalau ingin punya duit ya usaha!”
 “Tapi sungguh, Cak, aku sekarang sudah tak punya modal”
“Pakai otak dan ototmu! Jangan berharap belas kasihan orang lain”
Arang tak berbicara lagi. Ia hanya merintih kesakitan.. Cak Budi menghentikan siksaannya. Menyuruh Arang untuk bangkit.
“Arang, hidup ini kejam. Siapa kuat, dia dapat. Jangan sekali-kali memelas kepada orang lain. Kamu akan jadi budaknya. Kita sekarang hidup di zaman purba. Manusia memakan manusia. Tak kenal kawan maupun lawan”.
Cak Budi menghisap rokoknya dalam-dalam. Arang masih tercengang dengan semua kalimat yang dimuntahkan olehnya.
“Arang, jika dalam keadaan terdesak seperti ini, kamu bisa mengeluarkan semua kekuatanmu sebagai modal awal untuk menyambung hidup”
“Maksudnya, Cak?”
 “Kamu bisa menjadi pencopet, perampok, bahkan kalau perlu kamu bisa menjadi pembunuh”
“Tapi aku masih takut untuk melakukannya”
“Kalau kamu takut, mendingan kamu tidak usah hidup. Hidup ini bukan untuk ditakuti, melainkan untuk dilawan. Dengan kekuatan!”
Nada bicara Cak Budi membuat Arang tertekan. Ia menundukkan kepala. Merenungi semua kalimat yang bersarang di pikirannya.
“Kamu tahu toko Venus di perempatan taman kota?”
Arang terkejut mendengar nama toko itu.
“Aku akan merampoknya. Semua rencana sudah kupersiapkan. Dan besok adalah saat yang paling tepat untuk memulainya. Sekarang aku tawarkan kesempatan yang langkah ini padamu. Bagaimana?”
Arang langsung kaget mendengar tawaran itu. Ia semakin bingung. Memang benar, saat ini ia sangat membutuhkan uang untuk biaya hidupnya, tapi di sisi lain ia masih takut dengan resiko yang akan terjadi.
“Bagaimana?”
Arang tak berani menjawab.
“Ketahuilah, jalanan bukan tempat bagi seorang penakut. Kalau tidak mulai dari sekarang, kapan lagi kamu akan jadi kuat?”
Arang terus terdiam. Ia tidak menyangka dirinya akan menghadapi hal-hal yang tidak pernah ia bayangkan. Sedang Cak Budi tak henti-henti memanasi pikirannya. Arang teringat setiap pengalaman hidupnya di jalanan, bagaimana sikap dan pandangan orang-orang terhadap dirinya. Dan sebagainya dan sebagainya. Mata anak yang masih berusia tujuh belas tahun itu berkaca-kaca.
“Baiklah, aku siap!”
Cak Budi mengarak tawa. Disaksikan dinding-dinding bisu, lampu remang-remang juga asap rokok yang menyembur lewat tenggorokan. Keduanya pun akhirnya terkulai lemas usai saling menertawakan.
*****
Malam yang ditunggu-tunggu tiba. Arang, Cak Budi serta beberapa kawannya berkumpul di tempat yang sama. Mereka berbagi tugas. Arang hanya mengiyakan segala perintah yang ditujukan kepadanya. Cak Budi terus mengamati jam tangan. Mulutnya tak henti-henti menyambung asap rokok yang terus mengepul.
“Saatnya sudah tiba!”, Cak Budi meyakinkan anggotanya. Di luar sudah menunggu mobil panther hitam. Satu persatu kawanan yang hendak merampok itu  langsung masuk usai diberi aba-aba. Lalu hilang semuanya.
Mobil berhenti tepat di samping toko Venus. Setelah keadaan aman, Cak Budi memerintahkan anggotanya untuk memulai aksi. Bagaikan sekelompok ninja, mereka mengendap-endap menuju pintu belakang. Tak beberapa lama, mereka pun berhasil membukanya.
“Sempurna! Sungguh-sungguh sempurna!”
Cak Budi takjub melihat banyaknya perhiasan emas yang gemerlapan di balik kaca. Tak berlama-lama, kawanan perampok itu langsung menguras habis perhiasan tersebut.
“Angkat tangan!”
Tiba-tiba seorang satpam memergoki Arang yang hanya berdiri menyaksikan kawan-kawannya beraksi. Cak budi langsung menjatuhkan tas yang berisi barang jarahan. Arang semakin ketakutan ketika satpam itu mengacung-acungkan pistolnya. Namun belum sampai beberapa langkah satpam itu mendekati mereka, sebuah pedang menyabet pergelangan tangan petugas keamanan itu dari belakang. Mereka pun segera menghabisi nyawa satpam itu beramai-ramai.
“Ibu!”
Arang menjerit melihat tubuh itu bersimbah darah. Ia teringat perempuan yang telah meninggalkannya lima tahun silam itu. Namun Cak Budi segera dapat menenangkannya.
            Komplotan perampok itu kebingungan setelah aksi mereka diketahui. Mereka pun akhirnya membakar toko tersebut agar sidik jari mereka tak terdeteksi. Dalam sekejap toko itu terbakar.
            “Arang, cepat masuk mobil!”, Perintah Cak Budi. Arang tak bergeming. Sampai berkali-kali. Ia pun harus diseret Cak Budi dengan paksa.
            Tapi belum sampai Cak Budi melemparkan Arang ke mobil, masyarakat kota sudah berduyun-duyun melihat kebakaran. Cak Budi langsung tancap mobil. Meninggalkan Arang yang hanya termangu melihat api yang berkobar-kobar. Orang-orang terus berdatangan. Berusaha memadamkan api.
            “Jangan! Jangan bakar bapakku! Dia tidak bersalah”.
Tiba-tiba Arang berteriak histeris melihat orang-orang mengguyurkan air ke dalam api.
            “Jangan! Jangan bakar bapakku! Dia tidak bersalah”.
Arang terus meronta-ronta. Matanya mendelik berurai airmata. Bibirnya pucat gemetar. Dalam pandangannya saat itu, peristiwa lama yang telah menimpanya kembali hadir begitu jelas. Ia tak kuasa melihat bayang-bayang kenyataan itu:  seorang lelaki diarak massal oleh orang-orang kota di sebuah tanah lapang dekat rumahnya. Kemudian menyiramkan bensin dan minyak tanah ke tubuh lelaki tersebut.
            “Dasar Maling! Bakar saja dia. Jangan biarkan ia hidup. Sampah itu telah merugikan kita semua”.
Suara-suara itu terus terngiang di telinga Arang. Mengiringi kobaran api yang kian melahap tubuh lelaki itu.
“Jangan! Jangan bakar bapakku! Dia tidak bersalah”
Ia tak dapat berbuat apa-apa ketika orang-orang memeganginya dengan erat. Ia pun hanya bisa menangis melihat bapaknya itu tersungkur ke tanah dengan tubuh hangus tak bernyawa. Hingga akhirnya orang-orang itu meninggalkannya di penghujung malam bersama mayat seorang perempuan yang bunuh diri sesaat menjelang api di tubuh suaminya itu berhenti.
*****
Sunyi. Angin mengusap sampah-sampah berserakan.
            “Silahkan ikut kami!”
            Suara itu menghentikan Arang dari ratapannya. Dilihatnya bangkai toko yang mulai ditinggalkan orang-orang kota. Tak ada yang tersisa. Hanya puing-puing bangunan yang hangus terbakar.
Arang hanya pasrah ketika petugas itu bersiap menjebloskannya ke penjara, sebagaimana ia pasrah, ketika kematian ayah dan ibunya telah lebih dulu membuangnya ke jalanan. Dipandanginya langit erat-erat, bulan menggantung tanpa senyuman.




Jogjakarta 2006-2008



Cerpen : Surat buat Mama



Surat buat Mama
Oleh: Hais Abdurrahman

            Pagi pukul enam keluarga Eva sudah berkumpul di meja makan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, mereka akan memulai rutinitas pertama dengan makan bersama. Sebagai ibu rumah tangga dalam keluarga yang boleh dibilang agak besar –suami satu dan tiga belas anak, Eva sudah menyiapkan makanan yang besar pula tiap usai subuh. Berbagai makanan dan buah-buahan segar dihidangkannya di atas meja. Semuanya itu pasti akan habis tak tersisa. Eva tak pernah menyimpan makanan ­-apalagi nasi- di dalam kulkas.  Memalukan! Duit banyak kok seperti pemulung. Menyimpan sisa makanan basi untuk dimakan lagi. Bukankah itu sarang penyakit? katanya. Karena itu ia selalu membuang sisa-sisa makanan usai santap pagi dan memasak lagi untuk santap siang.
            Sarapan pagi dimulai. Semuanya khusuk menyantap hidangan. Eva menemukan ada yang ganjil. Salah satu dari lima belas kursi ada yang kosong. Ia tidak melihat Anton di kursi tersebut. Ditatapnya semua wajah yang hadir, tak terkecuali wajah suaminya. Ia benar-benar tak menemukannya. Meski begitu, ia terus melanjutkan makan tanpa sepatah kata. Dan seperti pagi-pagi sebelumnya, mereka pun akan meninggalkan meja tanpa sepatah kata juga. Dan begitulah suasana di keluarga Eva, datang dan pergi tanpa sepatah kata.  
*****
            Matahari meninggi. Eva membaca buku di ruang tamu. Suaminya sudah berangkat kerja. Kedua belas anaknya berangkat sekolah dan kuliah. Kecuali Anton, ia tak tahu anak pertamanya itu berada di mana. Karena ia memang tak pernah mau tahu dengan semua aktivitas anak-anaknya. Ia tak pernah melarang anak-anaknya pergi sampai larut malam atau pulang bawa pacarnya masing-masing sambil muntah di lantai karena mabuk yang berlebihan. Ia juga tak pernah mengomentari suaminya yang sering kencan dengan perempuan-perempuan lain yang lebih muda. Selagi tidak menyakiti perasaannya, perempuan berumur lima puluhan itu diam saja. Ia lebih senang menonton TV, memasak atau membaca buku. Tapi kalau lagi marah, ia akan berbuat nekat di luar kepala. Pernah suaminya akan ia bunuh di hari ulang tahunnya hanya karena bilang kalau dirinya cantik dan seksi. Ia malah bilang, “kamu menghiburku! Aku tidak suka”. Untung saja sang suami minta maaf. Kalau tidak, mungkin pisau pemotong kue itu sudah menggorok lehernya. Karena itu semua anggota keluarga di rumah tersebut lebih banyak diam dan mendiamkan dirinya –termasuk di atas ranjang.
            Pyiaaarrr!!! Terdengar piring pecah. Eva beranjak dari tempat duduknya. Menuju dapur.
            “Hai Kucing, apa yang kamu lakukan di situ?” Eva melototi temuannya sambil berkacak pinggang.
            “Maaf Ma, Anton lagi nyari makanan”. Pemuda berumur dua puluh empat tahun itu terkejut melihat mamanya sudah berdiri di depan pintu.
            “Tak ada makanan jam segini. Cepat pergi!”
            “Tapi lapar, Ma”.
            “Sudah dibilang tak ada makanan jam segini. Mau dilempar piring?” Eva mengangkat piring tinggi-tinggi.
            “Anton ketiduran”.
            “Ketiduran?! Apa tak ada alasan lain?! Siasat Kuno!. Jangan kau tebus kesalahanmu dengan alasan yang miskin, semiskin otakmu itu”.
            “Tapi Anton benar-benar ketiduran, Ma”.
            Pyiaaarrrrrr!!! Piring pecah lagi. Anton segera berlari setelah selamat dari lemparan mamanya.
            “Ingat, ya, kamu boleh makan sepuasmu tapi tidak di rumah ini!”. Eva berteriak-teriak ke arah Anton yang terus berlari ke luar rumah.
*****
            Sepanjang jalan, Anton terus teringat mamanya. Ia tak habis pikir dengan perempuan yang selama ini ia banggakan. Hanya karena telat waktu, sampai-sampai tak dapat jatah makan. Gila! Benar-benar gila, Anton terus menggerutu. Perasaannya berkecamuk bercampur lapar yang ia tahan. Semua kata-kata pedas mamanya menggumpal dan terus menghantui pikirannya.  
            Bruaakkk!!! Motor Anton menabrak mobil BMW di lampu merah. Ia tak melihat ada mobil berhenti. Terjadi keributan antara Anton dengan pemilik mobil. Si pemilik mobil tetap ngotot bahwa dirinya tidak bersalah. Sedang Anton juga tak mau mengalah. Perempatan yang macet mengundang petugas lalulintas.
            Anton divonis bersalah karena lalai dalam berkendaraan. Ia pun harus mengganti kerugian kepada pemilik mobil karena mobil mahal tersebut peyok dan lecet-lecet. Semua uang di dompet ia keluarkan. Tapi sayangnya masih belum cukup untuk membayar kerusakan dan denda. Terpaksa ia harus menjual HP kesayangannya –ia tak sempat berpikir untuk menghubungi ayah maupun saudara-saudaranya saat itu karena sangat panik.
            Selesai sudah urusannya di kantor polisi. Tapi Anton masih punya tanggungan lagi. Motornya yang terlanjur ia masukkan ke bengkel tak dapat diambil karena duitnya sudah habis terkuras oleh kecelakaan tadi. Bahkan sekedar untuk makan. Akhirnya ia memutuskan untuk pulang ke rumah jalan kaki. Menemui mamanya yang barangkali sudah berbaik hati. Senjata terakhir bagi mahasiswa yang belum kerja.
*****
            Eva masih di ruang tamu ketika anaknya itu pulang menemuinya.
            “Apa?! Kamu bilang ke tukang bengkel itu kalau kamu tak punya duit lalu pulang jalan kaki?! Memalukan! Benar-benar memalukan! Kamu telah menjatuhkan nama baik dan harga diri keluarga yang selama ini Mama agungkan. Harus ditaruh mana muka Mama ketika tetangga-tetangga membicarakan kamu? Anak nyonya Eva berjalan di siang hari seperti gembel kelaparan?!”
            “Tapi Anton benar-benar tak punya uang, Ma”.
            “Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu anak orang kaya raya di kota ini. Jangankan menebus biaya servis, membeli bengkel miliknya saja kamu mampu membayar dua kali lipat. Atau kamu bilang kalau kamu anak gubernur, atau presiden. Biar takut orangnya. Biar sujud di kakimu”.
            Eva terus mengomel seperti kucing garong hendak menerkam kucing lain yang ketahuan mencuri makanannya. Anton hanya berdiri, menundukkan kepala dengan hati kecewa. Menyesal harus pulang. Lebih baik jadi gelandangan, katanya dalam hati.
            “Sekarang Anton harus bagaimana?”
            “Terserah kamu harus bagaimana. Yang jelas Mama tidak mau tahu dengan urusanmu. Kamu yang berbuat, kamu juga yang harus menanggung akibat. Laki-laki kok cengeng. Lihatlah dirimu itu, sudah menjatuhkan nama baik keluarga, masih pulang sebagai pengemis murahan. Apa sudah kehabisan otak?!”
            Selanjutnya Eva hanya diam. Kembali membolak-balikkan buku filsafatnya. Sesekali membenarkan letak kacamata yang memantulkan warna keabuan. Seabu perasaan Anton hari itu.
            “Ma?”
            Eva tak mau merespon. Ia terus konsentrasi dengan bacaannya.
            “Mama?”
            Eva tetap diam sejuta bahasa. Seolah tak mendengar apa-apa. Entah sampai bab berapa ia membaca buku kesukaannya itu. Hingga ia tak sadar kalau anaknya sedang kepanasan di depan pintu.
            “Mamaaa!”
            Anton berteriak sekuat tenaga. Berharap Mama yang dicintainya itu mendengarkannya sekali lagi. Tapi Eva tetap seperti batu –mungkin juga berhala yang minta disembah terlebih dahulu.
            “Pyiaaarrr!!! Kaca jendela pecah. Anton melemparnya dengan batu. Batu harus dilawan dengan batu, pikirnya. Seketika Eva tersentak dan berteriak-teriak,
            “Iblis! Enyah kamu dari rumah ini. Biar tersambar gledek. Biar tertabrak mobil. Biar mati. Mati!”
            Anton tak menghiraukan mamanya. Ia terus menjauh dari perempuan itu. Benar-benar marah. Lalu mengecil seperti debu. Tak tahu harus ke mana. 
*****
            Kamu yang iblis. Biar tersambar gledek. Biar tertabrak mobil. Biar mati. Kamu saja yang mati. Anton menggerutu sendiri. Setiap apa saja yang ia temui, selalu menjadi pelampiasan amarahnya. Tong sampah, botol minuman, asap rokok, pepohonan, semuanya. Terkecuali manusia.
            Di terminal kota, Anton mengamati orang-orang yang berlalulalang. Entah hendak pergi dan pulang ke mana. Yang pasti mereka punya tujuan yang jelas ketika berada di sebuah terminal. Seorang anak digandeng bapak-ibunya menuju rumah makan. Ia rindu. Rindu kanak-kanak. Tentu kenangan itu paling bahagia dalam dirinya. Menjadi anak yang selalu dibanggakan. Dipamerkan di dinding-dinding rumah dan perkantoran. Dari kota sampai desa.
            Tapi kenapa Mama sangat jahat semenjak adik-adikku bermunculan? Semua menjadi lain dan asing. Mama berubah total. Dulu sangat perhatian, sekarang tidak lagi. Dulu tak pernah sedikit pun marah, sekarang kerjanya marah-marah. Atau karena Papa sering pulang malam? Anton serba bingung dengan semua pertanyaan yang ia karang sendiri. Anak kecil yang ia lihat di warung makan tertawa usai mendengar cerita lucu bapaknya. Ia jadi lapar. Rindu pulang dan makan bersama. Sejuta tawa dan kata-kata. Tapi tak mungkin, Mama pasti membunuhnya.
Ia berpikir untuk pergi ke kantor papanya. Meminta uang sebanyak mungkin. Dan entah makan bersama siapa saja. Lagi-lagi di sepanjang jalan ia teringat mamanya, semua kalimat yang dimuntahkan, dan sangat menusuk dada itu: lelaki, tak punya otak, pengemis murahan. Semuanya menjejali pikiran. Ia malu untuk bertemu papanya. Malu sebagai lelaki. Bukankah kata Mama lelaki harus kuat dan bertanggungjawab? Gagah layaknya ksatria? Ia tak ingin jadi pengemis murahan. Tak ingin.
Anton memutuskan untuk mencari uang dari keringat sendiri. Ia naik bis. Bukan sebagai penumpang, tapi niat lain. Copet. Ia senang bis kota penuh sesak, tapi juga berdebar-debar. Wajahnya berkeringat dan matanya tak tentu arah. Berkali-kali ia hendak mengurungkan niat, namun dorongan jiwanya untuk menjadi seorang lelaki kuat seperti kata mamanya sangat besar. Inilah pilihan. Segala resiko akan  dihadapi. 
“Copet! Copet!”
Belum sampai Anton menyelipkan dompet curiannya di balik baju, seorang perempuan sebaya berteriak-teriak ke arahnya. Anton panik. Ia segera melompat tanpa menunggu bis berhenti.  Bergulungan di jalan seperti latihan perang. Bis berhenti. Puluhan penumpang segera turun dan beramai-ramai menghajarnya. Anton babak-belur. Untung saja ada polisi. Kalau tidak ia bisa mati.
   Kepada polisi ia hanya bilang kalau dirinya mencopet karena terpaksa. Sekali dua kali bogeman ke wajah yang sudah remuk itu tetap tak merubah jawaban Anton.
“Sumpah mati. Demi raja Sulaiman yang kaya raya. Saya anak orang kaya”.
Tak ada yang peduli. Copet tetaplah copet. Harus dihukum sampai kapok.
Malam itu ia menginap di penjara. Makan tak enak, apalagi tidur. Ia berharap sang papa segera menyelamatkan nasibnya. Ah, mengemis lagi Tak apalah yang penting bahagia. Tapi kalau Mama mendengar, tentu perempuan itu akan mencak-mencak lagi. Bisa-bisa sang papa akan dibunuh, dan ia akan lebih lama di penjara.
 Anton semakin kebingungan. Entah harus bagaimana menghadapi perempuan yang telah mengutuknya jadi iblis itu. Ia meminta alat tulis kepada penjaga. Semalaman menulis surat. Buat Mama tercinta.
*****
Eva sedang menonton TV ketika surat itu sampai kepadanya. Dibacanya pelan-pelan. Mulutnya tak pernah lepas dari asap rokok yang ia hisap. 

“Ma, entah harus mulai dari mana. Semuanya nampak serba salah. Anton tak mau jadi pengemis murahan seperti kata Mama. Karena itu jangan marah-marah dulu sebelum surat ini dibaca. Anton hanya bermaksud memberi tahu kabar keadaan Anton sekarang. Tak lebih.
Seperti harapan Mama, Anton sekarang memilih menjadi lelaki tangguh. Tak mengenal airmata kesedihan. Segala hal yang menjadi keinginan dan hak Anton harus segera direbut. Tak peduli rintangan dan badai-topan. Sekali melangkah pantang menyerah.  Merdeka atau mati.
Siang tadi puluhan mahasiswa berdemo di depan gedung gubernur. Mereka menuntut pendidikan murah bagi rakyat miskin. Revolusi, Ma. Bukankah itu niat baik yang harus kita dukung? Dengan menenteng baliho besar, Anton ikut dalam arak-arakan tersebut. Tak surut meski panas menyengat. Terus maju meski dihadang barisan peluru.
            Sambil berpegangan tangan, kami memaksa menerobos pagar keamanan yang jumlahnya ratusan. Kami bagai tamu tak diundang, dan dipaksa buyar seketika itu juga. Tapi semangat kami kuat, Ma. Kami terus melawan sampai titik darah penghabisan. Kami dihujani pentungan dan gas airmata. Kami pun melawan dengan semangat berkibar-kibar. Namun sayang, Ma, jumlah kami tak cukup kuat membuka palang pintu keadilan. Pentungan dan gas airmata itu telah melukai jiwa dan raga kami. Kami mundur beberapa langkah, lalu berpendar bagai rombongan semut yang pontang-panting di rumah sendiri. Kami kalah, Ma. Dan  diangkut dengan mobil-mobil baja.
            Ma, kini Anton meringkuk di tahanan kota, dengan luka  dan darah yang masih tersisa. Kawan-kawan sudah pulang. Tinggal Anton sendirian. Tapi Mama tak usah takut, tak usah bersedih. Anton masih sanggup melawan puluhan bahkan ratusan penjaga.
   Salam rindu buat Mama dan Papa, juga semua adik Anton yang lucu-lucu. Anton”.  

Eva tersenyum usai membaca surat tersebut. Ia kecup lembaran kertas itu dengan hangat. Dalam hati ia berkata, “Ini baru anak mama!”.


Jogjakarta, Februari 2008

Puisi : Cagak Lima

                                                                     Cagak Lima

Lima tiang menjulang menyunggih bulan mati
seperti jemari pendoa dalam samar dan benderang
lantainya bintang-bintang susun menghadap langit susun
mohonkan ampun dan petunjuk bagi musafir
para penyair dan pemikir di sanalah rumahnya -wahyu diturunkan di separuh-sepertiga malam
puisi abadi, kisah-kisah tragis dan siluman, melodi luka dan perjuangan menyumbar
melayang bergulungan menggema mengitarinya
bagai ritus drama peziarah
: datang mengenang khusuk dan tunduk lalu kembali pulang

lima tiang yang menjulang ke langit susun
yang alasnya bintang-bintang susun -kuil istirah bagi yang sebatang kara
rebah jadi kisah
sanggupkah kau bangun lagi di hatimu?



Surabaya, gerbang kepergian 2012

Cerpen : Cak Sudi


Cak Sudi

Rumah mewah, aneka bunga mekar di sepanjang taman, siapa yang tidak mengidolakan? Tentu, siapapun akan merasa bahagia dapat hidup di dalamnya; melepas saat-saat letih bersama keluarga, menghirup udara segar sambil mendengar canda tawa anak-anak. O alangkah surga!
Begitulah yang dapat aku bayangkan ketika pertama kali melihat rumah terbesar di kampung masa kecilku. Rumah itu nampak seperti penguasa yang dikelilingi rakyatnya-rumah-rumah kecil biasa dan tradisional. Milik siapakah gerangan?
Setelah sekian tahun tidak pulang, gambaran tentang kampung masa kecilku terasa hilang; Langgar-langgar kosong, suara anak-anak yang biasanya mengaji berganti nada-nada dangdut dengan biduan yang seksi. Langkah-langkah kaki dan ayunan sepeda menuju masjid dan pesarean kini berganti motor-motor yang mengaung di jalanan. Mata-mata pemuda nyalang menebar curiga. Ya, semuanya cepat berubah, seperti tanah-tanah yang digerus laju sungai Bengawan di pinggiran kampung masa kecilku, meninggalkan akar dan puing-puing batu, yang ditinggal pemiliknya jauh entah kemana. Kini aku pulang, disambut wajah-wajah baru. Lalu milik siapakah rumah besar itu?
Bibi bilang rumah itu milik seorang pengusaha kaya raya. Dahulu pemiliknya adalah seorang sarjana lulusan universitas terkemuka di kota. Cak Sudi, begitu orang-orang kampung memanggilnya. Setelah kembali ke kampung ini, Cak Sudi mencoba peruntungan nasib dengan berjualan makanan ringan yang ia produksi sendiri untuk dijual di warung-warung tetangga dan kantin sekolah. Namun usahanya itu tidak mendapat restu ibunya. Ibunya ingin sekali anaknya tersebut dapat menjadi seorang guru. Sebab dengan menjadi seorang guru, anaknya tersebut menurutnya akan dapat mengangkat derajat keluarga yang dirasa pada waktu itu masih miskin dan serba kekurangan. Profesi guru adalah profesi mulia dan terhormat; Orang-orang kampung akan segan apabila mengetahui bahwa seorang anak dari keluarga tak mampu telah menjadi seorang ahli ilmu dan cakap mengamalkan ilmunya. Tapi kalau hanya sekedar penjual makanan? anak tidak tamat sekolah pun juga bisa melakukannya, begitu kata ibunya.
Namun tidak bagi Cak Sudi, ia justru yakin akan dapat mengangkat derajat keluarga apabila ia sukses menjadi seorang pengusaha, meski hanya dengan makanan ringan. Seorang pengusaha adalah simbol kemandirian dan kemerdekaan, begitu kata Cak Sudi. Dengan mendirikan usaha, katanya lagi, seseorang akan dapat mengentas kaum pengangguran dan dapat membangun kampung halaman menjadi lebih maju.
Hari demi hari Cak Sudi semakin giat dalam memasarkan usahanya. Meski tanpa restu dari sang ibu, ia tak peduli. Nasib ada dalam genggaman orang sendiri-sendiri; nasibku ya nasibku, Tuhan yang merencanakan, aku yang menentukan pilihan, begitu katanya. Semua strategi tentang pasar dan ekonomi ia pelajari, siang-malam ia habiskan untuk mengatur rencana, memilih kualitas makanan yang ideal dan mencoba dan mencoba.
Setelah beberapa bulan, usaha makanan yang diproduksi Cak Sudi lambat laun menemui jalannya. Orang-orang kampung banyak yang menyukai makanan ringan hasil kreasinya. Kali ini tidak hanya warung tetangga dan kantin sekolah yang membanjiri orderannya, melainkan juga toko-toko besar dan swalayan. Tidak sedikit juga Cak Sudi dapat pesanan dari relasinya melalui media online. Bahkan tak jarang pula ia mengekspor makanan ringannya tersebut sampai ke luar negeri.
Nama Cak Sudi pun oleh orang-orang kampung banyak diperbincangkan. Hanya dengan waktu yang tidak sampai setahun, lelaki sarjana komunikasi itu sudah dapat meraup keuntungan yang melimpah. Sebagian orang kampung menyambut positif kerja keras yang dilakukan Cak Sudi, namun tidak sedikit juga yang menganggap kerja kerasnya itu adalah hasil dari bantuan seorang dukun di luar kota. Sebab, kata sebagian dari mereka, Cak Sudi kerap keluar malam mengelilingi kampung dengan tangan saling mengikat di belakang, dan mulutnya komat-kamit tak jelas suaranya; ketika disapa oleh warga yang ronda, katanya lagi mencari angin segar. Angin segar dari neraka, lelucon mereka.
Namun Cak Sudi menganggap semua itu hanyalah bunga-bunga usahaya. Ia tak terlalu pusing memikirkan anggapan miring sebagian orang kampung. Ia tetap fokus dalam menjalankan usahanya tersebut. Ia justru menjadikan semua kritik dan serapah sebagai pemacu semangatnya dalam meraih semua kesuksesan yang akan ia hasilkan. Semakin tinggi seseorang menaiki sebuah gunung, maka semakin terjal batu-batuan mengganjal, dan semakin tinggi pohon menjulang, maka semakin deras pula angin yang akan menyapunya, begitu ia bersumpah.
Benar apa yang ia pegang, semua usaha yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh maka akan berhasil, dan Cak Sudi membuktikannya. Dalam tempo beberapa tahun ia telah memiliki semua yang ia inginkan. Harapan besar seorang anak yang miskin itu telah mencapai masa gemilangnya. Hanya dengan sekali ucap, rumah megah berdiri di depan matanya. Hanya dengan sekali tepuk, satu-dua mobil nangkring di halaman rumahnya. Sebuah kelebihan yang tak dimiliki seorang pun di kampung ini. Lalu bagaimana dengan ibunya?
Pernah suatu hari ibu Cak Sudi mengajaknya untuk naik haji bersama. Namun permintaan ibunya itu tak pernah sekalipun ia sanggupi. Ia justru sering bepergian ke luar negeri. Untuk melebarkan sayap, katanya. Baginya naik haji adalah urusan dirinya dengan Tuhan; urusan dunia harus diselesaikan dulu baru akhirat. Dan memang, urusan dunianya tak pernah selesai. Selalu ada hal-hal baru yang membuat Cak Sudi berpikir dan bertindak  terus untuk kelancaran usahanya tersebut. Ibu Cak Sudi pun justru dianggapnya sebagai masalah besar dalam hidupnya. Setiap kali ibu Cak Sudi mengajaknya untuk naik haji, Cak Sudi selalu marah-marah. Ia mengangap bahwa niat ibunya untuk naik haji itu akan dapat merusak rencana besarnya.
Sampai suatu hari Cak Sudi mengajak ibunya untuk bepergian. Ibu Cak Sudi tak berpikir macam-macam mengenai ajakannya tersebut. Ia merasa bahwa anaknya itu akan mengajaknya jalan-jalan ke swalayan, membeli barang-barang kebutuhan rumah, makan malam di restoran atau sekedar rekreasi di tempat wisata. Maklum, selama Cak Sudi menjadi konglomerat, tak sekali pun ia diajak oleh anak semata wayangnya itu untuk menikmati hasil usahanya. Jelas ia merasa sangat senang.
Namun ternyata Cak Sudi sudah punya niatan lain. Di suatu tempat, ternyata Cak Sudi sengaja menitipkan ibunya yang sudah lanjut usia itu ke panti jompo. Tentu saja ibu Cak Sudi menolaknya. Tapi tetap saja Cak Sudi memaksa dengan dalih agar ibuya itu dapat menenangkan diri di hari tuanya. Ia pun berjanji akan selalu menjenguk dan membawakan oleh-oleh kesukaannya. Apakah kamu juga akan mengajak ibu naik haji?, tanya ibunya suatu hari. Besok kalau sudah waktunya, jawab Cak Sudi.
Setelah berhasil memasukkan ibunya ke panti jompo, perasaan Cak Sudi seakan terbebas dari pasungan. Tak ada lagi yang menghantui pikirannya. Ia pun semakin bebas dan merdeka melakukan segala yang ia suka. Dan janji-janjinya pada sang ibu lambat laun ia lupakan. Ia semakin tak punya waktu untuk menjenguk ibunya itu, apalagi mengajaknya naik haji. Wajah seorang ibu yang telah mengandungnya beberapa bulan, mengasuhnya tahun demi tahun dengan darah dan keringat yang tak terhitung, hingga ia dapat lulus kuliah dengan baik, sudah tidak lagi tebesit dalam ingatannya, sudah tak tertanam dalam jiwanya. Cak Sudi terus berjalan sendiri, menyusuri lorong-lorong duniawi yang tak seorang pun tahu sampai kemana ia akan berlabuh.
Sampai suatu hari terdengar kabar bahwa ibu Cak Sudi meninggal dunia karena sakit jantung yang diderita. Mendengar kabar tersebut, Cak Sudi tetap saja santai dan merasa semua itu adalah hal yang wajar terjadi pada orang yang sudah lanjut usia. Ibuku sudah naik haji sendiri, dan langsung bertemu Tuhannya!, sambut Cak Sudi.
Belum genap seratus hari dari kematian ibu Cak Sudi, orang-orang kampung dikejutkan lagi dengan kabar bahwa Cak Sudi terserang strok usai meresmikan cabang usahanya di luar kota. Dokter rumah sakit memvonis strok Cak Sudi sangat parah sebab semua organ vital dan pembuluh darah dalam tubuhnya sudah tak berfungsi. Namun seorang dokter menyarankan agar Cak Sudi harus segera dioperasi di rumah sakit luar negeri. Konon dokter beserta peralatan rumah sakit di sana sangat canggih.
Akhirnya oleh kerabat ibu Cak Sudi yang masih perduli dengannya, Cak Sudi langsung dirujuk di rumah sakit luar negeri. Tentu saja dengan biaya yang super mahal. Yang penting nyawa Cak Sudi selamat, toh harta Cak Sudi yang melimpah ruah itu masih cukup untuk membiayai biaya pengobatan, anggapan mereka.
Benar sekali, setelah beberapa bulan dirawat di rumah sakit luar negeri itu, nyawa Cak Sudi akhirnya dapat tertolong. Cak Sudi dapat menyambung nafasnya lagi. Namun meski demikian, Cak Sudi bukan lagi Cak Sudi yang dulu lagi; semua harta kekayaannya habis sudah tergerus biaya pengobatan, sebagian besar ingatannya telah hilang, organ tubuhnya mati total, hanya matanya yang terjaga, dengan tatapan kosong yang lupa nama-nama. Cak Sudi seolah menjadi bangkai puing-puing pinggiran sungai Bengawan yang ditinggal pemiliknya entah kemana. Hanya seonggok tubuh mati yang tak mati-mati, menyiratkan kenangan tentang keperkasaan seorang mantan pengusaha besar, bagi siapa saja yang memandang. Kini ia dititipkan oleh kerabat ibunya di panti asuhan tuna grahita. Dan rumah Cak Sudi yang bagaikan penguasa itu kini tak berpenghuni, kosong seperti jiwa pemiliknya, hanya dedemit dan sarang laba-laba.


Sidoarjo, 17 April 2012