Selasa, 23 April 2013

Cerpen : Monumen bambu (tak) runcing

                                                          Monumen Bambu (Tak) Runcing
                                                                                                                     Cerpen oleh : Hais Abdurrahman

Sore itu tiba-tiba hujan deras. Jalanan padat dan rumah yang masih jauh, memaksa saya berteduh di emperan sebuah gedung. Tak sengaja mata saya tertuju pada sebuah monumen yang tegak berdiri di tengah jalan raya: Bambu Runcing! Betapa gagahnya monumen tersebut. Berdiri kokoh di jantung kota. Ya, sebuah monumen yang dibangun untuk mengenang perjuangan rakyat Indonesia, khususnya arek-arek Suroboyo dalam mengusir penjajah. Sebuah monumen yang konon menyimpan sejuta semangat dalam merebut hak-hak kemerdekaan, hak-hak hidup dan kemanusiaan yang telah dirampas beratus tahun. Sebuah monumen yang setiap hari seolah berteriak pada kami: Jangan pernah takut dengan penjajah-penjajah itu, anakku! Lawanlah dengan apapun yang kau punya, meski hanya dengan sebatang bambu!.
Bambu runcing! Ya, tiba-tiba saja saya tertawa melihat monumen tersebut. Semakin tinggi saya melihat moncong monumen itu, semakin tinggi pula saya tertawa. Saya terus tertawa, terbahak. Lalu airmata saya jatuh. Saya tertunduk.
***
Suatu hari, Pak Abu hanya diam di beranda rumahnya. Mulutnya tak pernah berhenti dari asap rokok. Matanya menatap langit jauh, namun pikirannya entah kemana.
“Lalu apa yang akan Mas lakukan sekarang?”, tanya istri Pak Abu.
Sejenak Pak Abu menghela nafas, “Rakyat biasa apalah daya”, jawabnya pasrah.
Pak Abu dan istrinya lalu diam, sama-sama menatap langit jauh.
***
Bulan-bulan yang lalu Pak Abu mendapat tawaran kerja di luar kota dari Pak Kadib, seorang makelar proyek. Menggarap kerangka gudang, katanya. “Bosnya orang bule kaya raya, cukup profesional dan mudah untuk urusan keuangan”, tambah Pak Kadib lagi. Dengan mudah, Pak Kadib dapat meyakinkan Pak Abu mengenai prospek kerjaan tersebut. Pak Abu pun mengamini semua yang diungkapkan oleh Pak Kadib yang konon telah malang-melintang di dunia kontruksi.
Bagi Pak Abu kerjaan ini adalah peluang di luar proyek kantor, jadi ia pun sangat senang mendapat tawaran tersebut. Beberapa karyawan Pak Abu yang telah mahir dalam pekerjaan baja tersebut ia kerahkan ke kota tujuan, sedang Pak Abu memimpin pekerjaan dengan tetap tinggal di Surabaya. Ia hanya datang ke lokasi di awal pengerjaan, selanjutnya ia datang seminggu atau dua minggu sekali, tidak pasti, tergantung waktu dan kesempatan yang ia punya, sebab ia masih punya kerjaan lain dari kantornya yang harus ia tangani juga di sekitar Surabaya.
Awalnya kerjaan dari Pak Kadib tersebut berjalan dengan tanpa hambatan. Material baja beserta peralatan dalam pembangunan gudang tersebut sudah tersedia. Karyawan Pak Abu pun mengerjakan pekerjaan tersebut dengan baik, sesuai instruksi dari Pak Abu sendiri.
Selang sebulan, sebagian dari hasil kerjaan tersebut sudah terlihat, dan Pak Abu bersukur pekerjaan tersebut berjalan lancar meski baru sebagian. Ia pun bermaksud meminta gaji pada Pak Kadib sesuai dengan hasil yang ia kerjakan.
Uang hasil kerjaan tersebut memang dikasih oleh Pak Kadib, namun besarnya tidak sesuai dengan yang diopnam. Besarannya hanya cukup buat transportasi dan konsumsi Pak Abu pulang-pergi. “Sisanya seminggu lagi turun, Pak”, kata Pak Kadib meyakinkan.
Tentu saja Pak Abu sedikit kecewa dengan hasil tersebut, karena selama sebulan dalam pengerjaan gudang itu, ia memakai modal keuangannya dari gaji proyek yang ia dapat dari kantornya di Surabaya. Belum lagi ia mempunyai karyawan kurang lebih lima puluhan orang yang perlu juga dihidupi. Tentu semua itu menjadi tanggung jawabnya selaku mandor. Jadi, semua gaji yang ia terima dari proyek yang ia dapat dari kantor, ia putar secukup mungkin untuk kelancaran semua pekerjaan yang ia pimpin. Sedang pemasukan bagi dirinya? Nol.
Namun meski demikian keadaanya, Pak Abu mencoba untuk tetap tenang.
“Yang penting kerjaan tetap berjalan, dan karyawan kita tetap dapat makan dan menghidupi keluarganya. Kasihan kalau mereka tidak didahulukan, bisa-bisa mereka akan berhenti bekerja. Kalau sudah begitu, kita juga nantinya yang repot. Sebab bagaimanapun juga mereka adalah jalan bagi pekerjaan kita. Merekalah yang mempunyai andil besar dalam suksesnya pekerjaan kita. Kalau tak ada mereka, apa bisa kita menyelesaikan semua pekerjaan? Lagian tidak ada salahnya kita mempercayai atasan kita. Sebab, kerja itu harus didasari dari rasa saling percaya. Dengan begitu apa yang kita kerjakan dapat berjalan dengan maksimal. Ya, mudah-mudahan saja apa yang dijanjikan Pak Kadib itu benar”, kata Pak Abu suatu hari.
***
Sebulan kemudian, Pak Abu dapat kabar dari karyawannya kalau pekerjaan tersebut sudah hampir selesai. 80 % pekerjaan sudah terlihat hasilnya, tinggal mengerjakan bagian-bagian kecil yang lain. Pak Abu sangat senang mendengar kabar tersebut. Ia pun memutuskan untuk pergi ke lokasi. Sampai sana, ia kemudian mengabari Pak Kadib sekaligus menagih janjinya. Dari sebuah pesan sms, Pak Kadib menjawab kalau dananya belum ada, sebab si bos susah untuk dihubungi, apalagi dimintai dana.
Mendengar jawaban tersebut, tentu saja Pak Abu sangat kesal. Ia merasa dipermainkan oleh Pak Kadib. Tak henti-henti Pak Abu menggerutu sendiri di depan karyawannya.
Setelah menghisap beberapa puntung rokok, Pak Abu pun diam menenangkan diri. Ia berusaha untuk tidak marah pada Pak Kadib.
“Bagaimana kalau tidak kita teruskan saja sisa pekerjaan ini?”, cletup salah satu karyawannya.
“Jangan, nanti malah kita tidak dapat apa-apa kalau si bos terlanjur marah. Bisa saja ia mengganti kita dengan orang lain, dan gaji kita selama ini dengan mudah ia lupakan”, jawab Pak Abu.
“Kita lapor saja ke polisi”, timpal yang lain.
Pak Abu tersenyum sinis.
“Butuh dana besar untuk membawa persoalan ini ke meja sidang. Pendapatan yang kita terima, tak akan cukup melawan orang-orang yang berkantong besar seperti mereka. Bisa-bisa kita dituduh balik dengan pasal pencemaran nama baik. Bisa rugi besar kita. Bahkan bisa masuk penjara. Di zaman ini, di negeri ini, semuanya membutuhkan modal besar. Siapa kaya, dia juara, yang miskin, hanya jadi bola golf permainan mereka”. Pak Abu diam sejenak, memandangi kerjaannya yang sudah hampir jadi.
“Sudah, kalian kerjakan saja semuanya sampai selesai. Ini memang resiko dari pekerjaan saya. Biarlah ini menjadi urusan saya. Kerjakan saja semuanya dengan baik. Mudah-mudahan ketika kerjaan ini selesai, gaji kita segera turun.
***
Sekali lagi Pak Abu harus pulang dengan tangan hampa. Dalam situasi seperti ini ia harus kembali menguras otak dan ekonominya untuk dapat menghidupi anak buahnya, agar pekerjaan tetap lancar dan berhasil. Semua harta-benda yang ia miliki ia gadaikan, tidak sedikit yang ia jual. Hasilnya lumayan untuk dapat bertahan sampai beberapa hari.
Akhirnya satu persatu proyek yang Pak Abu dapat dari kantornya telah selesai ia kerjakan. Namun tetap saja, pendapatan dari proyek tersebut belum cukup untuk memenuhi semua kebutuhan keluarga dan karyawannya. Pendapatan tersebut hanya cukup untuk membayar tagihan-tagihan peralatan yang ia sewa selama proses pekerjaan.
***
Kurang lebih tiga mingguan berikutnya pekerjaan di luar kota itu sudah selesai. Kerangka gudang itu berdiri kokoh di antara pemukiman masyarakat desa. Entah mau dijadikan apa. Semua karyawan Pak Abu pun pulang ke Surabaya diantar Pak Kadib.
“Bagaimana, Pak, dananya?”, tanya Pak Abu pada Pak Kadib suatu malam melalui telepon seluler.
“Waduh, Pak, dananya belum cair. Bosnya susah kalau dimintai dana”, jawab Pak Kadib ringan.
“Tolonglah, Pak, saya diusahakan, dibantu. Bapak tahu sendiri kalau saya juga punya banyak tanggungan”.
“Iya, saya tahu, tapi si bos ini loh yang repot urusan keuangannya”.
“Kata Bapak bosnya royal dalam masalah keuangan. Seharusnya Bapak lebih berusaha lagi untuk dapat mengucurkan dana dari atasan. Bapak kan tangan kanan atasan, Bapak juga yang memberi kerjaan, mengawasi serta melaporkannya pada atasan atas hasil-hasil yang telah diperoleh di lapangan. Bapak juga harus bertanggungjawab atas permasalahan ini. Jangan hanya pasrah menunggu dari atasan, lalu diam dari masalah”.
“Pokoknya Bapak tunggu saja. Nanti kalau dananya sudah cair akan saya hubungi”.
“Kalau atasan Bapak belum bisa memberikan dana, setidaknya dana Bapak dulu yang saya pakai buat menalangi tanggungan saya”.
Tiba-tiba telepon terputus. Tak ada suara. Berkali-kali Pak Abu mencoba menghubungi Pak Kadib lagi, selalu tak tersambung. Pak Abu lunglai di kursi tamu, diam memandang asap rokoknya yang terbang, lalu hilang dari pandangan.
***
Hari-hari setelah pekerjaan luar kota itu usai, Pak Abu belum dapat kerjaan lagi. Puluhan karyawannya pun menganggur, tak ada lagi yang dapat dijadikan modal awal. Semuanya telah habis terkuras. Tak ada kabar dari Pak Kadib. Makelar proyek itu seolah hilang dari peredaran. Setiap kali Pak Abu menghubunginya, selalu nada tunggu yang ia terima. Hanya menunggu dan menunggu.
Namun tidak bagi karyawan Pak Abu, mereka tak bisa menunggu sesuatu yang tak tentu. Mereka masih sangat muda, otot dan semangat mereka masih kuat untuk mencari nafkah. Satu persatu dari mereka pun memutuskan untuk keluar meninggalkan Pak Abu, dan berjuang mencari kerja lagi, agar tak jadi pengangguran tentunya. Apapun kerjaannya, yang penting halal, demi anak-istri di rumah.
***
Setelah sekian bulan, terdengar kabar bahwa gudang yang pernah dikerjakan Pak Abu dan karyawannya itu telah resmi dijadikan pabrik besar di kotanya, menghabiskan milyaran rupiah untuk penghasilan berkali lipatnya. Dibangun dengan menggusur tanah-tanah milik orang desa dan menggantinya dengan upah-upah minim, bagi siapa saja yang bekerja di dalamnya. Menjadikan mereka sapi-sapi perah yang siap diperas susunya.
***
Sore itu, saya saksikan monumen Bambu Runcing tegak berdiri, di kota pahlawan ini, diguyur hujan dan debu jalanan, menjadi batu mati yang ruh perjuangannya dibawa para pahlawan mati, menyisakan anak-cucu yang kian tak berdaya melawan penjajah-penjajah baru dari dalam dan luar negeri.
***
Sidoarjo, 05 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar