Surat buat Mama
Oleh:
Hais Abdurrahman
Pagi pukul enam keluarga Eva sudah
berkumpul di meja makan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, mereka akan memulai
rutinitas pertama dengan makan bersama. Sebagai ibu rumah tangga dalam keluarga
yang boleh dibilang agak besar –suami satu dan tiga belas anak, Eva sudah
menyiapkan makanan yang besar pula tiap usai subuh. Berbagai makanan dan
buah-buahan segar dihidangkannya di atas meja. Semuanya itu pasti akan habis
tak tersisa. Eva tak pernah menyimpan makanan -apalagi nasi- di dalam
kulkas. Memalukan! Duit banyak kok
seperti pemulung. Menyimpan sisa makanan basi untuk dimakan lagi. Bukankah itu
sarang penyakit? katanya. Karena itu ia selalu membuang sisa-sisa makanan usai
santap pagi dan memasak lagi untuk santap siang.
Sarapan pagi dimulai. Semuanya
khusuk menyantap hidangan. Eva menemukan ada yang ganjil. Salah satu dari lima belas kursi ada yang kosong. Ia tidak melihat Anton
di kursi tersebut. Ditatapnya semua wajah yang hadir, tak terkecuali wajah
suaminya. Ia benar-benar tak menemukannya. Meski begitu, ia terus melanjutkan
makan tanpa sepatah kata. Dan seperti pagi-pagi sebelumnya, mereka pun akan
meninggalkan meja tanpa sepatah kata juga. Dan begitulah suasana di keluarga
Eva, datang dan pergi tanpa sepatah kata.
*****
Matahari meninggi. Eva membaca buku
di ruang tamu. Suaminya sudah berangkat kerja. Kedua belas anaknya berangkat
sekolah dan kuliah. Kecuali Anton,
ia tak tahu anak pertamanya itu
berada di mana. Karena ia memang tak pernah mau tahu dengan semua aktivitas anak-anaknya.
Ia tak pernah melarang anak-anaknya pergi sampai larut malam atau pulang bawa
pacarnya masing-masing sambil muntah di lantai karena mabuk yang berlebihan. Ia
juga tak pernah mengomentari suaminya yang sering kencan dengan
perempuan-perempuan lain yang lebih muda. Selagi tidak menyakiti perasaannya,
perempuan berumur lima puluhan itu diam saja.
Ia lebih senang menonton TV, memasak atau membaca buku. Tapi kalau lagi marah,
ia akan berbuat nekat di luar kepala. Pernah suaminya akan ia bunuh di hari
ulang tahunnya hanya karena bilang kalau dirinya cantik dan seksi. Ia malah
bilang, “kamu menghiburku! Aku tidak suka”. Untung saja sang suami minta maaf.
Kalau tidak, mungkin pisau pemotong kue itu sudah menggorok lehernya. Karena
itu semua anggota keluarga di rumah tersebut lebih banyak diam dan mendiamkan
dirinya –termasuk di atas ranjang.
Pyiaaarrr!!! Terdengar piring pecah.
Eva beranjak dari tempat duduknya. Menuju dapur.
“Hai Kucing, apa yang kamu lakukan
di situ?” Eva melototi temuannya sambil berkacak pinggang.
“Maaf Ma, Anton lagi nyari makanan”.
Pemuda berumur dua puluh empat tahun itu terkejut melihat mamanya sudah berdiri
di depan pintu.
“Tak ada makanan jam segini. Cepat
pergi!”
“Tapi lapar, Ma”.
“Sudah dibilang tak ada makanan jam
segini. Mau dilempar piring?” Eva mengangkat piring tinggi-tinggi.
“Anton ketiduran”.
“Ketiduran?! Apa tak ada alasan
lain?! Siasat Kuno!. Jangan kau tebus kesalahanmu dengan alasan yang miskin,
semiskin otakmu itu”.
“Tapi Anton benar-benar ketiduran,
Ma”.
Pyiaaarrrrrr!!! Piring pecah lagi.
Anton segera berlari setelah selamat dari lemparan mamanya.
“Ingat, ya, kamu boleh makan
sepuasmu tapi tidak di rumah ini!”. Eva berteriak-teriak ke arah Anton yang
terus berlari ke luar rumah.
*****
Sepanjang jalan, Anton terus
teringat mamanya. Ia tak habis pikir dengan perempuan yang selama ini ia
banggakan. Hanya karena telat waktu, sampai-sampai tak dapat jatah makan. Gila!
Benar-benar gila, Anton terus menggerutu. Perasaannya berkecamuk bercampur
lapar yang ia tahan. Semua kata-kata pedas mamanya menggumpal dan terus
menghantui pikirannya.
Bruaakkk!!! Motor Anton menabrak
mobil BMW di lampu merah. Ia tak melihat ada mobil berhenti. Terjadi keributan
antara Anton dengan pemilik mobil. Si pemilik mobil tetap ngotot bahwa dirinya
tidak bersalah. Sedang Anton juga tak mau mengalah. Perempatan yang macet
mengundang petugas lalulintas.
Anton divonis bersalah karena lalai
dalam berkendaraan. Ia pun harus mengganti kerugian kepada pemilik mobil karena
mobil mahal tersebut peyok dan
lecet-lecet. Semua uang di dompet ia keluarkan. Tapi sayangnya masih belum
cukup untuk membayar kerusakan dan denda. Terpaksa ia harus menjual HP
kesayangannya –ia tak sempat berpikir untuk menghubungi ayah maupun
saudara-saudaranya saat itu karena sangat panik.
Selesai sudah urusannya di kantor
polisi. Tapi Anton masih punya tanggungan lagi. Motornya yang terlanjur ia
masukkan ke bengkel tak dapat diambil karena duitnya sudah habis terkuras oleh
kecelakaan tadi. Bahkan sekedar untuk makan. Akhirnya ia memutuskan untuk
pulang ke rumah jalan kaki. Menemui mamanya yang barangkali sudah berbaik hati.
Senjata terakhir bagi mahasiswa yang belum kerja.
*****
Eva masih di ruang tamu ketika
anaknya itu pulang menemuinya.
“Apa?! Kamu bilang ke tukang bengkel
itu kalau kamu tak punya duit lalu pulang jalan kaki?! Memalukan! Benar-benar
memalukan! Kamu telah menjatuhkan nama baik dan harga diri keluarga yang selama
ini Mama agungkan. Harus ditaruh mana muka Mama ketika tetangga-tetangga membicarakan
kamu? Anak nyonya Eva berjalan di siang hari seperti gembel kelaparan?!”
“Tapi Anton benar-benar tak punya
uang, Ma”.
“Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu
anak orang kaya raya di kota ini. Jangankan
menebus biaya servis, membeli bengkel miliknya saja kamu mampu membayar dua
kali lipat. Atau kamu bilang kalau kamu anak gubernur, atau presiden. Biar
takut orangnya. Biar sujud di kakimu”.
Eva terus mengomel seperti kucing
garong hendak menerkam kucing lain yang ketahuan mencuri makanannya. Anton
hanya berdiri, menundukkan kepala dengan hati kecewa. Menyesal harus pulang.
Lebih baik jadi gelandangan, katanya dalam hati.
“Sekarang Anton harus bagaimana?”
“Terserah kamu harus bagaimana. Yang
jelas Mama tidak mau tahu dengan urusanmu. Kamu yang berbuat, kamu juga yang
harus menanggung akibat. Laki-laki kok cengeng.
Lihatlah dirimu itu, sudah menjatuhkan nama baik keluarga, masih pulang sebagai
pengemis murahan. Apa sudah kehabisan otak?!”
Selanjutnya Eva hanya diam. Kembali
membolak-balikkan buku filsafatnya. Sesekali membenarkan letak kacamata yang
memantulkan warna keabuan. Seabu perasaan Anton hari itu.
“Ma?”
Eva tak mau merespon. Ia terus
konsentrasi dengan bacaannya.
“Mama?”
Eva tetap diam sejuta bahasa. Seolah
tak mendengar apa-apa. Entah sampai bab berapa ia membaca buku kesukaannya itu.
Hingga ia tak sadar kalau anaknya sedang kepanasan di depan pintu.
“Mamaaa!”
Anton berteriak sekuat tenaga.
Berharap Mama yang dicintainya itu mendengarkannya sekali lagi. Tapi Eva tetap
seperti batu –mungkin juga berhala yang minta disembah terlebih dahulu.
“Pyiaaarrr!!! Kaca jendela pecah.
Anton melemparnya dengan batu. Batu harus dilawan dengan batu, pikirnya.
Seketika Eva tersentak dan berteriak-teriak,
“Iblis! Enyah kamu dari rumah ini.
Biar tersambar gledek. Biar tertabrak mobil. Biar mati. Mati!”
Anton tak menghiraukan mamanya. Ia
terus menjauh dari perempuan itu. Benar-benar marah. Lalu mengecil seperti
debu. Tak tahu harus ke mana.
*****
Kamu yang iblis. Biar tersambar
gledek. Biar tertabrak mobil. Biar mati. Kamu saja yang mati. Anton menggerutu
sendiri. Setiap apa saja yang ia temui, selalu menjadi pelampiasan amarahnya.
Tong sampah, botol minuman, asap rokok, pepohonan, semuanya. Terkecuali
manusia.
Di terminal kota,
Anton mengamati orang-orang yang berlalulalang. Entah hendak pergi dan pulang
ke mana. Yang pasti mereka punya tujuan yang jelas ketika berada di sebuah
terminal. Seorang anak digandeng bapak-ibunya menuju rumah makan. Ia rindu.
Rindu kanak-kanak. Tentu kenangan itu paling bahagia dalam dirinya. Menjadi
anak yang selalu dibanggakan. Dipamerkan di dinding-dinding rumah dan
perkantoran. Dari kota sampai desa.
Tapi kenapa Mama sangat jahat
semenjak adik-adikku bermunculan? Semua menjadi lain dan asing. Mama berubah
total. Dulu sangat perhatian, sekarang tidak lagi. Dulu tak pernah sedikit pun
marah, sekarang kerjanya marah-marah. Atau karena Papa sering pulang malam?
Anton serba bingung dengan semua pertanyaan yang ia karang sendiri. Anak kecil
yang ia lihat di warung makan tertawa usai mendengar cerita lucu bapaknya. Ia
jadi lapar. Rindu pulang dan makan bersama. Sejuta tawa dan kata-kata. Tapi tak
mungkin, Mama pasti membunuhnya.
Ia berpikir untuk pergi ke kantor papanya. Meminta uang sebanyak mungkin.
Dan entah makan bersama siapa saja. Lagi-lagi di sepanjang jalan ia teringat
mamanya, semua kalimat yang dimuntahkan, dan sangat menusuk dada itu: lelaki,
tak punya otak, pengemis murahan. Semuanya menjejali pikiran. Ia malu untuk
bertemu papanya. Malu sebagai lelaki. Bukankah kata Mama lelaki harus kuat dan
bertanggungjawab? Gagah layaknya ksatria? Ia tak ingin jadi pengemis murahan.
Tak ingin.
Anton memutuskan untuk mencari uang dari keringat sendiri. Ia naik bis.
Bukan sebagai penumpang, tapi niat lain. Copet. Ia senang bis kota
penuh sesak, tapi juga berdebar-debar. Wajahnya berkeringat dan matanya tak
tentu arah. Berkali-kali ia hendak mengurungkan niat, namun dorongan jiwanya
untuk menjadi seorang lelaki kuat seperti kata mamanya sangat besar. Inilah
pilihan. Segala resiko akan
dihadapi.
“Copet! Copet!”
Belum sampai Anton menyelipkan dompet curiannya di balik baju, seorang
perempuan sebaya berteriak-teriak ke arahnya. Anton panik. Ia segera melompat tanpa
menunggu bis berhenti. Bergulungan di
jalan seperti latihan perang. Bis berhenti. Puluhan penumpang segera turun dan
beramai-ramai menghajarnya. Anton babak-belur. Untung saja ada polisi. Kalau
tidak ia bisa mati.
Kepada polisi ia hanya bilang kalau
dirinya mencopet karena terpaksa. Sekali dua kali bogeman ke wajah yang sudah
remuk itu tetap tak merubah jawaban Anton.
“Sumpah mati. Demi raja Sulaiman yang kaya raya. Saya anak orang kaya”.
Tak ada yang peduli. Copet tetaplah copet. Harus dihukum sampai kapok.
Malam itu ia menginap di penjara. Makan tak enak, apalagi tidur. Ia
berharap sang papa segera menyelamatkan nasibnya. Ah, mengemis lagi Tak apalah
yang penting bahagia. Tapi kalau Mama mendengar, tentu perempuan itu akan mencak-mencak lagi. Bisa-bisa sang papa
akan dibunuh, dan ia akan lebih lama di penjara.
Anton semakin kebingungan. Entah
harus bagaimana menghadapi perempuan yang telah mengutuknya jadi iblis itu. Ia
meminta alat tulis kepada penjaga. Semalaman menulis surat.
Buat Mama tercinta.
*****
Eva sedang menonton TV ketika surat itu
sampai kepadanya. Dibacanya pelan-pelan. Mulutnya tak pernah lepas dari asap
rokok yang ia hisap.
“Ma, entah harus mulai dari mana.
Semuanya nampak serba salah. Anton tak mau jadi pengemis murahan seperti kata
Mama. Karena itu jangan marah-marah dulu sebelum surat
ini dibaca. Anton hanya bermaksud memberi tahu kabar keadaan Anton sekarang.
Tak lebih.
Seperti harapan Mama, Anton
sekarang memilih menjadi lelaki tangguh. Tak mengenal airmata kesedihan. Segala
hal yang menjadi keinginan dan hak Anton harus segera direbut. Tak peduli
rintangan dan badai-topan. Sekali melangkah pantang menyerah. Merdeka atau mati.
Siang tadi puluhan mahasiswa
berdemo di depan gedung gubernur. Mereka menuntut pendidikan murah bagi rakyat
miskin. Revolusi, Ma. Bukankah itu niat baik yang harus kita dukung? Dengan
menenteng baliho besar, Anton ikut dalam arak-arakan tersebut. Tak surut meski
panas menyengat. Terus maju meski dihadang barisan peluru.
Sambil
berpegangan tangan, kami memaksa menerobos pagar keamanan yang jumlahnya
ratusan. Kami bagai tamu tak diundang, dan dipaksa buyar seketika itu juga.
Tapi semangat kami kuat, Ma. Kami terus melawan sampai titik darah penghabisan.
Kami dihujani pentungan dan gas airmata. Kami pun melawan dengan semangat
berkibar-kibar. Namun sayang, Ma, jumlah kami tak cukup kuat membuka palang
pintu keadilan. Pentungan dan gas airmata itu telah melukai jiwa dan raga kami.
Kami mundur beberapa langkah, lalu berpendar bagai rombongan semut yang
pontang-panting di rumah sendiri. Kami kalah, Ma. Dan diangkut dengan mobil-mobil baja.
Ma,
kini Anton meringkuk di tahanan kota, dengan luka dan darah yang masih tersisa. Kawan-kawan
sudah pulang. Tinggal Anton sendirian. Tapi Mama tak usah takut, tak usah
bersedih. Anton masih sanggup melawan puluhan bahkan ratusan penjaga.
Salam rindu buat Mama dan Papa, juga semua adik Anton yang lucu-lucu. Anton”.
Eva tersenyum usai membaca surat
tersebut. Ia kecup lembaran kertas itu dengan hangat. Dalam hati ia berkata,
“Ini baru anak mama!”.
Jogjakarta, Februari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar