Selasa, 23 April 2013

Cerpen : Surat buat Mama



Surat buat Mama
Oleh: Hais Abdurrahman

            Pagi pukul enam keluarga Eva sudah berkumpul di meja makan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, mereka akan memulai rutinitas pertama dengan makan bersama. Sebagai ibu rumah tangga dalam keluarga yang boleh dibilang agak besar –suami satu dan tiga belas anak, Eva sudah menyiapkan makanan yang besar pula tiap usai subuh. Berbagai makanan dan buah-buahan segar dihidangkannya di atas meja. Semuanya itu pasti akan habis tak tersisa. Eva tak pernah menyimpan makanan ­-apalagi nasi- di dalam kulkas.  Memalukan! Duit banyak kok seperti pemulung. Menyimpan sisa makanan basi untuk dimakan lagi. Bukankah itu sarang penyakit? katanya. Karena itu ia selalu membuang sisa-sisa makanan usai santap pagi dan memasak lagi untuk santap siang.
            Sarapan pagi dimulai. Semuanya khusuk menyantap hidangan. Eva menemukan ada yang ganjil. Salah satu dari lima belas kursi ada yang kosong. Ia tidak melihat Anton di kursi tersebut. Ditatapnya semua wajah yang hadir, tak terkecuali wajah suaminya. Ia benar-benar tak menemukannya. Meski begitu, ia terus melanjutkan makan tanpa sepatah kata. Dan seperti pagi-pagi sebelumnya, mereka pun akan meninggalkan meja tanpa sepatah kata juga. Dan begitulah suasana di keluarga Eva, datang dan pergi tanpa sepatah kata.  
*****
            Matahari meninggi. Eva membaca buku di ruang tamu. Suaminya sudah berangkat kerja. Kedua belas anaknya berangkat sekolah dan kuliah. Kecuali Anton, ia tak tahu anak pertamanya itu berada di mana. Karena ia memang tak pernah mau tahu dengan semua aktivitas anak-anaknya. Ia tak pernah melarang anak-anaknya pergi sampai larut malam atau pulang bawa pacarnya masing-masing sambil muntah di lantai karena mabuk yang berlebihan. Ia juga tak pernah mengomentari suaminya yang sering kencan dengan perempuan-perempuan lain yang lebih muda. Selagi tidak menyakiti perasaannya, perempuan berumur lima puluhan itu diam saja. Ia lebih senang menonton TV, memasak atau membaca buku. Tapi kalau lagi marah, ia akan berbuat nekat di luar kepala. Pernah suaminya akan ia bunuh di hari ulang tahunnya hanya karena bilang kalau dirinya cantik dan seksi. Ia malah bilang, “kamu menghiburku! Aku tidak suka”. Untung saja sang suami minta maaf. Kalau tidak, mungkin pisau pemotong kue itu sudah menggorok lehernya. Karena itu semua anggota keluarga di rumah tersebut lebih banyak diam dan mendiamkan dirinya –termasuk di atas ranjang.
            Pyiaaarrr!!! Terdengar piring pecah. Eva beranjak dari tempat duduknya. Menuju dapur.
            “Hai Kucing, apa yang kamu lakukan di situ?” Eva melototi temuannya sambil berkacak pinggang.
            “Maaf Ma, Anton lagi nyari makanan”. Pemuda berumur dua puluh empat tahun itu terkejut melihat mamanya sudah berdiri di depan pintu.
            “Tak ada makanan jam segini. Cepat pergi!”
            “Tapi lapar, Ma”.
            “Sudah dibilang tak ada makanan jam segini. Mau dilempar piring?” Eva mengangkat piring tinggi-tinggi.
            “Anton ketiduran”.
            “Ketiduran?! Apa tak ada alasan lain?! Siasat Kuno!. Jangan kau tebus kesalahanmu dengan alasan yang miskin, semiskin otakmu itu”.
            “Tapi Anton benar-benar ketiduran, Ma”.
            Pyiaaarrrrrr!!! Piring pecah lagi. Anton segera berlari setelah selamat dari lemparan mamanya.
            “Ingat, ya, kamu boleh makan sepuasmu tapi tidak di rumah ini!”. Eva berteriak-teriak ke arah Anton yang terus berlari ke luar rumah.
*****
            Sepanjang jalan, Anton terus teringat mamanya. Ia tak habis pikir dengan perempuan yang selama ini ia banggakan. Hanya karena telat waktu, sampai-sampai tak dapat jatah makan. Gila! Benar-benar gila, Anton terus menggerutu. Perasaannya berkecamuk bercampur lapar yang ia tahan. Semua kata-kata pedas mamanya menggumpal dan terus menghantui pikirannya.  
            Bruaakkk!!! Motor Anton menabrak mobil BMW di lampu merah. Ia tak melihat ada mobil berhenti. Terjadi keributan antara Anton dengan pemilik mobil. Si pemilik mobil tetap ngotot bahwa dirinya tidak bersalah. Sedang Anton juga tak mau mengalah. Perempatan yang macet mengundang petugas lalulintas.
            Anton divonis bersalah karena lalai dalam berkendaraan. Ia pun harus mengganti kerugian kepada pemilik mobil karena mobil mahal tersebut peyok dan lecet-lecet. Semua uang di dompet ia keluarkan. Tapi sayangnya masih belum cukup untuk membayar kerusakan dan denda. Terpaksa ia harus menjual HP kesayangannya –ia tak sempat berpikir untuk menghubungi ayah maupun saudara-saudaranya saat itu karena sangat panik.
            Selesai sudah urusannya di kantor polisi. Tapi Anton masih punya tanggungan lagi. Motornya yang terlanjur ia masukkan ke bengkel tak dapat diambil karena duitnya sudah habis terkuras oleh kecelakaan tadi. Bahkan sekedar untuk makan. Akhirnya ia memutuskan untuk pulang ke rumah jalan kaki. Menemui mamanya yang barangkali sudah berbaik hati. Senjata terakhir bagi mahasiswa yang belum kerja.
*****
            Eva masih di ruang tamu ketika anaknya itu pulang menemuinya.
            “Apa?! Kamu bilang ke tukang bengkel itu kalau kamu tak punya duit lalu pulang jalan kaki?! Memalukan! Benar-benar memalukan! Kamu telah menjatuhkan nama baik dan harga diri keluarga yang selama ini Mama agungkan. Harus ditaruh mana muka Mama ketika tetangga-tetangga membicarakan kamu? Anak nyonya Eva berjalan di siang hari seperti gembel kelaparan?!”
            “Tapi Anton benar-benar tak punya uang, Ma”.
            “Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu anak orang kaya raya di kota ini. Jangankan menebus biaya servis, membeli bengkel miliknya saja kamu mampu membayar dua kali lipat. Atau kamu bilang kalau kamu anak gubernur, atau presiden. Biar takut orangnya. Biar sujud di kakimu”.
            Eva terus mengomel seperti kucing garong hendak menerkam kucing lain yang ketahuan mencuri makanannya. Anton hanya berdiri, menundukkan kepala dengan hati kecewa. Menyesal harus pulang. Lebih baik jadi gelandangan, katanya dalam hati.
            “Sekarang Anton harus bagaimana?”
            “Terserah kamu harus bagaimana. Yang jelas Mama tidak mau tahu dengan urusanmu. Kamu yang berbuat, kamu juga yang harus menanggung akibat. Laki-laki kok cengeng. Lihatlah dirimu itu, sudah menjatuhkan nama baik keluarga, masih pulang sebagai pengemis murahan. Apa sudah kehabisan otak?!”
            Selanjutnya Eva hanya diam. Kembali membolak-balikkan buku filsafatnya. Sesekali membenarkan letak kacamata yang memantulkan warna keabuan. Seabu perasaan Anton hari itu.
            “Ma?”
            Eva tak mau merespon. Ia terus konsentrasi dengan bacaannya.
            “Mama?”
            Eva tetap diam sejuta bahasa. Seolah tak mendengar apa-apa. Entah sampai bab berapa ia membaca buku kesukaannya itu. Hingga ia tak sadar kalau anaknya sedang kepanasan di depan pintu.
            “Mamaaa!”
            Anton berteriak sekuat tenaga. Berharap Mama yang dicintainya itu mendengarkannya sekali lagi. Tapi Eva tetap seperti batu –mungkin juga berhala yang minta disembah terlebih dahulu.
            “Pyiaaarrr!!! Kaca jendela pecah. Anton melemparnya dengan batu. Batu harus dilawan dengan batu, pikirnya. Seketika Eva tersentak dan berteriak-teriak,
            “Iblis! Enyah kamu dari rumah ini. Biar tersambar gledek. Biar tertabrak mobil. Biar mati. Mati!”
            Anton tak menghiraukan mamanya. Ia terus menjauh dari perempuan itu. Benar-benar marah. Lalu mengecil seperti debu. Tak tahu harus ke mana. 
*****
            Kamu yang iblis. Biar tersambar gledek. Biar tertabrak mobil. Biar mati. Kamu saja yang mati. Anton menggerutu sendiri. Setiap apa saja yang ia temui, selalu menjadi pelampiasan amarahnya. Tong sampah, botol minuman, asap rokok, pepohonan, semuanya. Terkecuali manusia.
            Di terminal kota, Anton mengamati orang-orang yang berlalulalang. Entah hendak pergi dan pulang ke mana. Yang pasti mereka punya tujuan yang jelas ketika berada di sebuah terminal. Seorang anak digandeng bapak-ibunya menuju rumah makan. Ia rindu. Rindu kanak-kanak. Tentu kenangan itu paling bahagia dalam dirinya. Menjadi anak yang selalu dibanggakan. Dipamerkan di dinding-dinding rumah dan perkantoran. Dari kota sampai desa.
            Tapi kenapa Mama sangat jahat semenjak adik-adikku bermunculan? Semua menjadi lain dan asing. Mama berubah total. Dulu sangat perhatian, sekarang tidak lagi. Dulu tak pernah sedikit pun marah, sekarang kerjanya marah-marah. Atau karena Papa sering pulang malam? Anton serba bingung dengan semua pertanyaan yang ia karang sendiri. Anak kecil yang ia lihat di warung makan tertawa usai mendengar cerita lucu bapaknya. Ia jadi lapar. Rindu pulang dan makan bersama. Sejuta tawa dan kata-kata. Tapi tak mungkin, Mama pasti membunuhnya.
Ia berpikir untuk pergi ke kantor papanya. Meminta uang sebanyak mungkin. Dan entah makan bersama siapa saja. Lagi-lagi di sepanjang jalan ia teringat mamanya, semua kalimat yang dimuntahkan, dan sangat menusuk dada itu: lelaki, tak punya otak, pengemis murahan. Semuanya menjejali pikiran. Ia malu untuk bertemu papanya. Malu sebagai lelaki. Bukankah kata Mama lelaki harus kuat dan bertanggungjawab? Gagah layaknya ksatria? Ia tak ingin jadi pengemis murahan. Tak ingin.
Anton memutuskan untuk mencari uang dari keringat sendiri. Ia naik bis. Bukan sebagai penumpang, tapi niat lain. Copet. Ia senang bis kota penuh sesak, tapi juga berdebar-debar. Wajahnya berkeringat dan matanya tak tentu arah. Berkali-kali ia hendak mengurungkan niat, namun dorongan jiwanya untuk menjadi seorang lelaki kuat seperti kata mamanya sangat besar. Inilah pilihan. Segala resiko akan  dihadapi. 
“Copet! Copet!”
Belum sampai Anton menyelipkan dompet curiannya di balik baju, seorang perempuan sebaya berteriak-teriak ke arahnya. Anton panik. Ia segera melompat tanpa menunggu bis berhenti.  Bergulungan di jalan seperti latihan perang. Bis berhenti. Puluhan penumpang segera turun dan beramai-ramai menghajarnya. Anton babak-belur. Untung saja ada polisi. Kalau tidak ia bisa mati.
   Kepada polisi ia hanya bilang kalau dirinya mencopet karena terpaksa. Sekali dua kali bogeman ke wajah yang sudah remuk itu tetap tak merubah jawaban Anton.
“Sumpah mati. Demi raja Sulaiman yang kaya raya. Saya anak orang kaya”.
Tak ada yang peduli. Copet tetaplah copet. Harus dihukum sampai kapok.
Malam itu ia menginap di penjara. Makan tak enak, apalagi tidur. Ia berharap sang papa segera menyelamatkan nasibnya. Ah, mengemis lagi Tak apalah yang penting bahagia. Tapi kalau Mama mendengar, tentu perempuan itu akan mencak-mencak lagi. Bisa-bisa sang papa akan dibunuh, dan ia akan lebih lama di penjara.
 Anton semakin kebingungan. Entah harus bagaimana menghadapi perempuan yang telah mengutuknya jadi iblis itu. Ia meminta alat tulis kepada penjaga. Semalaman menulis surat. Buat Mama tercinta.
*****
Eva sedang menonton TV ketika surat itu sampai kepadanya. Dibacanya pelan-pelan. Mulutnya tak pernah lepas dari asap rokok yang ia hisap. 

“Ma, entah harus mulai dari mana. Semuanya nampak serba salah. Anton tak mau jadi pengemis murahan seperti kata Mama. Karena itu jangan marah-marah dulu sebelum surat ini dibaca. Anton hanya bermaksud memberi tahu kabar keadaan Anton sekarang. Tak lebih.
Seperti harapan Mama, Anton sekarang memilih menjadi lelaki tangguh. Tak mengenal airmata kesedihan. Segala hal yang menjadi keinginan dan hak Anton harus segera direbut. Tak peduli rintangan dan badai-topan. Sekali melangkah pantang menyerah.  Merdeka atau mati.
Siang tadi puluhan mahasiswa berdemo di depan gedung gubernur. Mereka menuntut pendidikan murah bagi rakyat miskin. Revolusi, Ma. Bukankah itu niat baik yang harus kita dukung? Dengan menenteng baliho besar, Anton ikut dalam arak-arakan tersebut. Tak surut meski panas menyengat. Terus maju meski dihadang barisan peluru.
            Sambil berpegangan tangan, kami memaksa menerobos pagar keamanan yang jumlahnya ratusan. Kami bagai tamu tak diundang, dan dipaksa buyar seketika itu juga. Tapi semangat kami kuat, Ma. Kami terus melawan sampai titik darah penghabisan. Kami dihujani pentungan dan gas airmata. Kami pun melawan dengan semangat berkibar-kibar. Namun sayang, Ma, jumlah kami tak cukup kuat membuka palang pintu keadilan. Pentungan dan gas airmata itu telah melukai jiwa dan raga kami. Kami mundur beberapa langkah, lalu berpendar bagai rombongan semut yang pontang-panting di rumah sendiri. Kami kalah, Ma. Dan  diangkut dengan mobil-mobil baja.
            Ma, kini Anton meringkuk di tahanan kota, dengan luka  dan darah yang masih tersisa. Kawan-kawan sudah pulang. Tinggal Anton sendirian. Tapi Mama tak usah takut, tak usah bersedih. Anton masih sanggup melawan puluhan bahkan ratusan penjaga.
   Salam rindu buat Mama dan Papa, juga semua adik Anton yang lucu-lucu. Anton”.  

Eva tersenyum usai membaca surat tersebut. Ia kecup lembaran kertas itu dengan hangat. Dalam hati ia berkata, “Ini baru anak mama!”.


Jogjakarta, Februari 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar