Selasa, 23 April 2013

Cerpen : Arang di kota kami



Arang di kota kami
Oleh: Hais Abdurrahman

            Anak itu datang lagi. Menancapkan kedua kakinya yang telanjang pada jalanan beraspal. Tubuhnya kurus kian tersambar terik matahari. Sesekali tangannya mengibaskan keringat yang mengembun di wajahnya.
            Sebentar ia berhenti di pinggir jalan. Kedua matanya tak henti-henti mengamati orang-orang yang sibuk membaca koran sambil duduk-duduk di depan mall. Tak lama ia pun bergegas menghampiri salah seorang dari mereka.
            “Mau disemir sepatunya, Pak?”
            “Boleh”.
Orang itu melepas kedua sepatunya yang sudah kental dengan sejuta debu kota. Lalu membolak-balikkan korannya. Anak itu mulai bekerja. Perasaannya agak tenang setelah separuh hari ia berkeliling dengan tangan hampa.
            “Siapa namamu, Dik?”
            “Arang”
            “Masih sekolah?”
            “Tidak, Pak”
            Orang berjas hitam itu terus membolak-balikkan korannya. Seperti tidak puas dengan hanya membaca satu berita.
            “Sudah lama menyemir sepatu?”
            “Ya, kira-kira sudah lima tahunan, Pak. Tapi terkadang saya juga menjual koran di perempatan”.
            “Kamu tinggal di mana?”
            “Tidak tetap, Pak. Terkadang saya tinggal di stasiun atau terminal, terkadang juga di kos teman”.
            “Lalu orang tua kamu?”
            Seketika Arang terdiam mendengar pertanyaan itu. Kedua tangannya serasa lemas untuk melanjutkan kerjanya. Tatapannya menerawang kosong ke bawah.
            “Kok diam?” Tanya orang itu sambil melipat korannya.
            Setetes demi setetes airmata Arang meleleh, membasahi sepatu yang telah disemirnya. Seketika ia membersihkannya lagi. Orang itu ikut diam. Pikirannya meraba jauh sikap Arang yang berubah aneh. Tiba-tiba ia teringat sebuah berita di televisi dan koran-koran tentang seorang anak yang ditinggal mati kedua orang tuanya akibat banjir dan tanah longsong bulan Januari. Ia juga teringat dengan maraknya aksi penculikan terhadap anak-anak di bawah usia untuk diperjual-belikan. Dan masih banyak lagi peristiwa yang lain.
            “Sudah selesai, Pak”
            Suara Arang mengagetkan orang itu dari lamunannya. Cepat-cepat ia mengeluarkan uang satu lembar sepuluh ribuan dari dompetnya.
            “Tidak ada kembaliannya, Pak”. Sambil terus meraba saku celana pendeknya.
            “Tidak apa-apa, kembaliannya buat kamu saja”
            “Kalau begitu terima kasih, Pak”.
            Arang membereskan alat-alat kerjanya, lalu beranjak pergi. Sedang orang itu masih di situ, kembali membolak-balikkan korannya, sampai datang mobil utusan yang mengantarnya ke tempat tujuan.
*****
             Matahari terang. Kota perkasa. Pohon-pohon gundul, gedung-gedung tumbuh subur, asap polusi kendaraan menggunung menjadi campuran bumbu masak rumah makan di jantung kota metropolitan. Sambil menengok laju kendaraan, Arang menyeberangi perempatan demi perempatan. Memasuki gang-gang sempit dekat terminal. Sampailah ia di tempat yang asing oleh siang, sebab matahari tertutup oleh puluhan loteng kamar. Untung saja ada lampu yang menyala di salah satu kamar itu, sehingga tamu yang masuk tak sempat membentur dinding ruangan.
Arang memasuki ruangan yang berukuran empat kali empat. Sebuah kamar kos-kos-an yang relatif murah di pojok kampung pinggiran kota. Sepi. Sayup-sayup terdengar alunan fals suara pemuda yang lagi bermain gitar di kamar sebelah. Arang memanggil-manggil nama Cak Budi. Tak ada jawaban. Ia langsung merebahkan tubuhnya di atas tikar. Tak terasa ia pun terlelap di bawah remang-remang lampu kamar.
Tiba-tiba ia merasakan sakit di kepalanya. Seketika ia membuka mata. Cak Budi menjambak rambutnya.
“Dasar pemalas! Jam segini molor. Sudah berlagak bos, ya?!”
Arang tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya mengerang-erang kesakitan.
“Ampun, Cak! Ampun!. Hari ini semirku habis. Uang hasil menyemir sudah habis kubelikan makan. Aku ke sini bermaksud pinjam uang buat beli semir baru”.
“Pinjam uang?! Memangnya aku ini kaya?! Kalau ingin punya duit ya usaha!”
 “Tapi sungguh, Cak, aku sekarang sudah tak punya modal”
“Pakai otak dan ototmu! Jangan berharap belas kasihan orang lain”
Arang tak berbicara lagi. Ia hanya merintih kesakitan.. Cak Budi menghentikan siksaannya. Menyuruh Arang untuk bangkit.
“Arang, hidup ini kejam. Siapa kuat, dia dapat. Jangan sekali-kali memelas kepada orang lain. Kamu akan jadi budaknya. Kita sekarang hidup di zaman purba. Manusia memakan manusia. Tak kenal kawan maupun lawan”.
Cak Budi menghisap rokoknya dalam-dalam. Arang masih tercengang dengan semua kalimat yang dimuntahkan olehnya.
“Arang, jika dalam keadaan terdesak seperti ini, kamu bisa mengeluarkan semua kekuatanmu sebagai modal awal untuk menyambung hidup”
“Maksudnya, Cak?”
 “Kamu bisa menjadi pencopet, perampok, bahkan kalau perlu kamu bisa menjadi pembunuh”
“Tapi aku masih takut untuk melakukannya”
“Kalau kamu takut, mendingan kamu tidak usah hidup. Hidup ini bukan untuk ditakuti, melainkan untuk dilawan. Dengan kekuatan!”
Nada bicara Cak Budi membuat Arang tertekan. Ia menundukkan kepala. Merenungi semua kalimat yang bersarang di pikirannya.
“Kamu tahu toko Venus di perempatan taman kota?”
Arang terkejut mendengar nama toko itu.
“Aku akan merampoknya. Semua rencana sudah kupersiapkan. Dan besok adalah saat yang paling tepat untuk memulainya. Sekarang aku tawarkan kesempatan yang langkah ini padamu. Bagaimana?”
Arang langsung kaget mendengar tawaran itu. Ia semakin bingung. Memang benar, saat ini ia sangat membutuhkan uang untuk biaya hidupnya, tapi di sisi lain ia masih takut dengan resiko yang akan terjadi.
“Bagaimana?”
Arang tak berani menjawab.
“Ketahuilah, jalanan bukan tempat bagi seorang penakut. Kalau tidak mulai dari sekarang, kapan lagi kamu akan jadi kuat?”
Arang terus terdiam. Ia tidak menyangka dirinya akan menghadapi hal-hal yang tidak pernah ia bayangkan. Sedang Cak Budi tak henti-henti memanasi pikirannya. Arang teringat setiap pengalaman hidupnya di jalanan, bagaimana sikap dan pandangan orang-orang terhadap dirinya. Dan sebagainya dan sebagainya. Mata anak yang masih berusia tujuh belas tahun itu berkaca-kaca.
“Baiklah, aku siap!”
Cak Budi mengarak tawa. Disaksikan dinding-dinding bisu, lampu remang-remang juga asap rokok yang menyembur lewat tenggorokan. Keduanya pun akhirnya terkulai lemas usai saling menertawakan.
*****
Malam yang ditunggu-tunggu tiba. Arang, Cak Budi serta beberapa kawannya berkumpul di tempat yang sama. Mereka berbagi tugas. Arang hanya mengiyakan segala perintah yang ditujukan kepadanya. Cak Budi terus mengamati jam tangan. Mulutnya tak henti-henti menyambung asap rokok yang terus mengepul.
“Saatnya sudah tiba!”, Cak Budi meyakinkan anggotanya. Di luar sudah menunggu mobil panther hitam. Satu persatu kawanan yang hendak merampok itu  langsung masuk usai diberi aba-aba. Lalu hilang semuanya.
Mobil berhenti tepat di samping toko Venus. Setelah keadaan aman, Cak Budi memerintahkan anggotanya untuk memulai aksi. Bagaikan sekelompok ninja, mereka mengendap-endap menuju pintu belakang. Tak beberapa lama, mereka pun berhasil membukanya.
“Sempurna! Sungguh-sungguh sempurna!”
Cak Budi takjub melihat banyaknya perhiasan emas yang gemerlapan di balik kaca. Tak berlama-lama, kawanan perampok itu langsung menguras habis perhiasan tersebut.
“Angkat tangan!”
Tiba-tiba seorang satpam memergoki Arang yang hanya berdiri menyaksikan kawan-kawannya beraksi. Cak budi langsung menjatuhkan tas yang berisi barang jarahan. Arang semakin ketakutan ketika satpam itu mengacung-acungkan pistolnya. Namun belum sampai beberapa langkah satpam itu mendekati mereka, sebuah pedang menyabet pergelangan tangan petugas keamanan itu dari belakang. Mereka pun segera menghabisi nyawa satpam itu beramai-ramai.
“Ibu!”
Arang menjerit melihat tubuh itu bersimbah darah. Ia teringat perempuan yang telah meninggalkannya lima tahun silam itu. Namun Cak Budi segera dapat menenangkannya.
            Komplotan perampok itu kebingungan setelah aksi mereka diketahui. Mereka pun akhirnya membakar toko tersebut agar sidik jari mereka tak terdeteksi. Dalam sekejap toko itu terbakar.
            “Arang, cepat masuk mobil!”, Perintah Cak Budi. Arang tak bergeming. Sampai berkali-kali. Ia pun harus diseret Cak Budi dengan paksa.
            Tapi belum sampai Cak Budi melemparkan Arang ke mobil, masyarakat kota sudah berduyun-duyun melihat kebakaran. Cak Budi langsung tancap mobil. Meninggalkan Arang yang hanya termangu melihat api yang berkobar-kobar. Orang-orang terus berdatangan. Berusaha memadamkan api.
            “Jangan! Jangan bakar bapakku! Dia tidak bersalah”.
Tiba-tiba Arang berteriak histeris melihat orang-orang mengguyurkan air ke dalam api.
            “Jangan! Jangan bakar bapakku! Dia tidak bersalah”.
Arang terus meronta-ronta. Matanya mendelik berurai airmata. Bibirnya pucat gemetar. Dalam pandangannya saat itu, peristiwa lama yang telah menimpanya kembali hadir begitu jelas. Ia tak kuasa melihat bayang-bayang kenyataan itu:  seorang lelaki diarak massal oleh orang-orang kota di sebuah tanah lapang dekat rumahnya. Kemudian menyiramkan bensin dan minyak tanah ke tubuh lelaki tersebut.
            “Dasar Maling! Bakar saja dia. Jangan biarkan ia hidup. Sampah itu telah merugikan kita semua”.
Suara-suara itu terus terngiang di telinga Arang. Mengiringi kobaran api yang kian melahap tubuh lelaki itu.
“Jangan! Jangan bakar bapakku! Dia tidak bersalah”
Ia tak dapat berbuat apa-apa ketika orang-orang memeganginya dengan erat. Ia pun hanya bisa menangis melihat bapaknya itu tersungkur ke tanah dengan tubuh hangus tak bernyawa. Hingga akhirnya orang-orang itu meninggalkannya di penghujung malam bersama mayat seorang perempuan yang bunuh diri sesaat menjelang api di tubuh suaminya itu berhenti.
*****
Sunyi. Angin mengusap sampah-sampah berserakan.
            “Silahkan ikut kami!”
            Suara itu menghentikan Arang dari ratapannya. Dilihatnya bangkai toko yang mulai ditinggalkan orang-orang kota. Tak ada yang tersisa. Hanya puing-puing bangunan yang hangus terbakar.
Arang hanya pasrah ketika petugas itu bersiap menjebloskannya ke penjara, sebagaimana ia pasrah, ketika kematian ayah dan ibunya telah lebih dulu membuangnya ke jalanan. Dipandanginya langit erat-erat, bulan menggantung tanpa senyuman.




Jogjakarta 2006-2008



Tidak ada komentar:

Posting Komentar