Arang di kota
kami
Oleh: Hais Abdurrahman
Anak
itu datang lagi. Menancapkan kedua kakinya yang telanjang pada jalanan
beraspal. Tubuhnya kurus kian tersambar terik matahari. Sesekali tangannya
mengibaskan keringat yang mengembun di wajahnya.
Sebentar ia berhenti di pinggir
jalan. Kedua matanya tak henti-henti mengamati orang-orang yang sibuk membaca
koran sambil duduk-duduk di depan mall. Tak lama ia pun bergegas menghampiri
salah seorang dari mereka.
“Mau disemir sepatunya, Pak?”
“Boleh”.
Orang itu melepas kedua sepatunya yang sudah kental dengan sejuta debu kota. Lalu
membolak-balikkan korannya. Anak itu mulai bekerja. Perasaannya agak tenang
setelah separuh hari ia berkeliling dengan tangan hampa.
“Siapa namamu, Dik?”
“Arang”
“Masih sekolah?”
“Tidak, Pak”
Orang berjas hitam itu terus
membolak-balikkan korannya. Seperti tidak puas dengan hanya membaca satu
berita.
“Sudah lama menyemir sepatu?”
“Ya, kira-kira sudah lima tahunan, Pak. Tapi
terkadang saya juga menjual koran di perempatan”.
“Kamu tinggal di mana?”
“Tidak tetap, Pak. Terkadang saya
tinggal di stasiun atau terminal, terkadang juga di kos teman”.
“Lalu orang tua kamu?”
Seketika Arang terdiam mendengar
pertanyaan itu. Kedua tangannya serasa lemas untuk melanjutkan kerjanya.
Tatapannya menerawang kosong ke bawah.
“Kok diam?” Tanya orang itu sambil
melipat korannya.
Setetes demi setetes airmata Arang
meleleh, membasahi sepatu yang telah disemirnya. Seketika ia membersihkannya
lagi. Orang itu ikut diam. Pikirannya meraba jauh sikap Arang yang berubah
aneh. Tiba-tiba ia teringat sebuah berita di televisi dan koran-koran tentang
seorang anak yang ditinggal mati kedua orang tuanya akibat banjir dan tanah
longsong bulan Januari. Ia juga teringat dengan maraknya aksi penculikan
terhadap anak-anak di bawah usia untuk diperjual-belikan. Dan masih banyak lagi
peristiwa yang lain.
“Sudah selesai, Pak”
Suara Arang mengagetkan orang itu
dari lamunannya. Cepat-cepat ia mengeluarkan uang satu lembar sepuluh ribuan
dari dompetnya.
“Tidak ada kembaliannya, Pak”.
Sambil terus meraba saku celana pendeknya.
“Tidak apa-apa, kembaliannya buat
kamu saja”
“Kalau begitu terima kasih, Pak”.
Arang membereskan alat-alat
kerjanya, lalu beranjak pergi. Sedang orang itu masih di situ, kembali
membolak-balikkan korannya, sampai datang mobil utusan yang mengantarnya ke
tempat tujuan.
*****
Matahari terang. Kota
perkasa. Pohon-pohon gundul, gedung-gedung tumbuh subur, asap polusi kendaraan
menggunung menjadi campuran bumbu masak rumah makan di jantung kota metropolitan. Sambil menengok laju kendaraan, Arang
menyeberangi perempatan demi perempatan. Memasuki gang-gang sempit dekat
terminal. Sampailah ia di tempat yang asing oleh siang, sebab matahari tertutup
oleh puluhan loteng kamar. Untung saja ada lampu yang menyala di salah satu
kamar itu, sehingga tamu yang masuk tak sempat membentur dinding ruangan.
Arang memasuki ruangan yang berukuran empat kali empat. Sebuah kamar
kos-kos-an yang relatif murah di pojok kampung pinggiran kota.
Sepi. Sayup-sayup terdengar alunan fals suara pemuda yang lagi bermain gitar di
kamar sebelah. Arang memanggil-manggil nama Cak Budi. Tak ada jawaban. Ia langsung
merebahkan tubuhnya di atas tikar. Tak terasa ia pun terlelap di bawah
remang-remang lampu kamar.
Tiba-tiba ia merasakan sakit di kepalanya. Seketika ia membuka mata. Cak
Budi menjambak rambutnya.
“Dasar pemalas! Jam segini molor. Sudah berlagak bos, ya?!”
Arang tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya mengerang-erang kesakitan.
“Ampun, Cak! Ampun!. Hari ini semirku habis. Uang hasil menyemir sudah
habis kubelikan makan. Aku ke sini bermaksud pinjam uang buat beli semir baru”.
“Pinjam uang?! Memangnya aku ini kaya?! Kalau ingin punya duit ya usaha!”
“Tapi sungguh, Cak, aku sekarang
sudah tak punya modal”
“Pakai otak dan ototmu! Jangan berharap belas kasihan orang lain”
Arang tak berbicara lagi. Ia hanya merintih kesakitan.. Cak Budi
menghentikan siksaannya. Menyuruh Arang untuk bangkit.
“Arang, hidup ini kejam. Siapa kuat, dia dapat. Jangan sekali-kali
memelas kepada orang lain. Kamu akan jadi budaknya. Kita sekarang hidup di
zaman purba. Manusia memakan manusia. Tak kenal kawan maupun lawan”.
Cak Budi menghisap rokoknya dalam-dalam. Arang masih tercengang dengan
semua kalimat yang dimuntahkan olehnya.
“Arang, jika dalam keadaan terdesak seperti ini, kamu bisa mengeluarkan
semua kekuatanmu sebagai modal awal untuk menyambung hidup”
“Maksudnya, Cak?”
“Kamu bisa menjadi pencopet,
perampok, bahkan kalau perlu kamu bisa menjadi pembunuh”
“Tapi aku masih takut untuk melakukannya”
“Kalau kamu takut, mendingan kamu tidak usah hidup. Hidup ini bukan untuk
ditakuti, melainkan untuk dilawan. Dengan kekuatan!”
Nada bicara Cak Budi membuat Arang tertekan. Ia menundukkan kepala.
Merenungi semua kalimat yang bersarang di pikirannya.
“Kamu tahu toko Venus di perempatan taman kota?”
Arang terkejut mendengar nama toko itu.
“Aku akan merampoknya. Semua rencana sudah kupersiapkan. Dan besok adalah
saat yang paling tepat untuk memulainya. Sekarang aku tawarkan kesempatan yang
langkah ini padamu. Bagaimana?”
Arang langsung kaget mendengar tawaran itu. Ia semakin bingung. Memang
benar, saat ini ia sangat membutuhkan uang untuk biaya hidupnya, tapi di sisi
lain ia masih takut dengan resiko yang akan terjadi.
“Bagaimana?”
Arang tak berani menjawab.
“Ketahuilah, jalanan bukan tempat bagi seorang penakut. Kalau tidak mulai
dari sekarang, kapan lagi kamu akan jadi kuat?”
Arang terus terdiam. Ia tidak menyangka dirinya akan menghadapi hal-hal
yang tidak pernah ia bayangkan. Sedang Cak Budi tak henti-henti memanasi
pikirannya. Arang teringat setiap pengalaman hidupnya di jalanan, bagaimana
sikap dan pandangan orang-orang terhadap dirinya. Dan sebagainya dan
sebagainya. Mata anak yang masih berusia tujuh belas tahun itu berkaca-kaca.
“Baiklah, aku siap!”
Cak Budi mengarak tawa. Disaksikan dinding-dinding bisu, lampu
remang-remang juga asap rokok yang menyembur lewat tenggorokan. Keduanya pun
akhirnya terkulai lemas usai saling menertawakan.
*****
Malam yang ditunggu-tunggu tiba. Arang, Cak Budi serta beberapa kawannya
berkumpul di tempat yang sama. Mereka berbagi tugas. Arang hanya mengiyakan
segala perintah yang ditujukan kepadanya. Cak Budi terus mengamati jam tangan.
Mulutnya tak henti-henti menyambung asap rokok yang terus mengepul.
“Saatnya sudah tiba!”, Cak Budi meyakinkan anggotanya. Di luar sudah
menunggu mobil panther hitam. Satu persatu kawanan yang hendak merampok itu langsung masuk usai diberi aba-aba. Lalu
hilang semuanya.
Mobil berhenti tepat di samping toko Venus. Setelah keadaan aman, Cak
Budi memerintahkan anggotanya untuk memulai aksi. Bagaikan sekelompok ninja,
mereka mengendap-endap menuju pintu belakang. Tak beberapa lama, mereka pun
berhasil membukanya.
“Sempurna! Sungguh-sungguh sempurna!”
Cak Budi takjub melihat banyaknya perhiasan emas yang gemerlapan di balik
kaca. Tak berlama-lama, kawanan perampok itu langsung menguras habis perhiasan
tersebut.
“Angkat tangan!”
Tiba-tiba seorang satpam memergoki Arang yang hanya berdiri menyaksikan
kawan-kawannya beraksi. Cak budi langsung menjatuhkan tas yang berisi barang
jarahan. Arang semakin ketakutan ketika satpam itu mengacung-acungkan
pistolnya. Namun belum sampai beberapa langkah satpam itu mendekati mereka,
sebuah pedang menyabet pergelangan tangan petugas keamanan itu dari belakang.
Mereka pun segera menghabisi nyawa satpam itu beramai-ramai.
“Ibu!”
Arang menjerit melihat tubuh itu bersimbah darah. Ia teringat perempuan
yang telah meninggalkannya lima tahun silam
itu. Namun Cak Budi segera dapat menenangkannya.
Komplotan perampok itu kebingungan
setelah aksi mereka diketahui. Mereka pun akhirnya membakar toko tersebut agar
sidik jari mereka tak terdeteksi. Dalam sekejap toko itu terbakar.
“Arang, cepat masuk mobil!”,
Perintah Cak Budi. Arang tak bergeming. Sampai berkali-kali. Ia pun harus
diseret Cak Budi dengan paksa.
Tapi belum sampai Cak Budi
melemparkan Arang ke mobil, masyarakat kota sudah
berduyun-duyun melihat kebakaran. Cak Budi langsung tancap mobil. Meninggalkan
Arang yang hanya termangu melihat api yang berkobar-kobar. Orang-orang terus
berdatangan. Berusaha memadamkan api.
“Jangan! Jangan bakar bapakku! Dia
tidak bersalah”.
Tiba-tiba Arang berteriak histeris melihat orang-orang mengguyurkan air
ke dalam api.
“Jangan! Jangan bakar bapakku! Dia
tidak bersalah”.
Arang terus meronta-ronta. Matanya mendelik berurai airmata. Bibirnya
pucat gemetar. Dalam pandangannya saat itu, peristiwa lama yang telah
menimpanya kembali hadir begitu jelas. Ia tak kuasa melihat bayang-bayang
kenyataan itu: seorang lelaki diarak
massal oleh orang-orang kota di sebuah tanah lapang dekat rumahnya. Kemudian
menyiramkan bensin dan minyak tanah ke tubuh lelaki tersebut.
“Dasar Maling! Bakar saja dia.
Jangan biarkan ia hidup. Sampah itu telah merugikan kita semua”.
Suara-suara itu terus terngiang di telinga Arang. Mengiringi kobaran api
yang kian melahap tubuh lelaki itu.
“Jangan! Jangan bakar bapakku! Dia tidak bersalah”
Ia tak dapat berbuat apa-apa ketika orang-orang memeganginya dengan erat.
Ia pun hanya bisa menangis melihat bapaknya itu tersungkur ke tanah dengan
tubuh hangus tak bernyawa. Hingga akhirnya orang-orang itu meninggalkannya di
penghujung malam bersama mayat seorang perempuan yang bunuh diri sesaat
menjelang api di tubuh suaminya itu berhenti.
*****
Sunyi. Angin
mengusap sampah-sampah berserakan.
“Silahkan ikut kami!”
Suara itu menghentikan Arang dari
ratapannya. Dilihatnya bangkai toko yang mulai ditinggalkan orang-orang kota. Tak ada yang tersisa. Hanya puing-puing bangunan
yang hangus terbakar.
Arang hanya pasrah ketika petugas itu bersiap menjebloskannya ke penjara,
sebagaimana ia pasrah, ketika kematian ayah dan ibunya telah lebih dulu membuangnya
ke jalanan. Dipandanginya langit erat-erat, bulan menggantung tanpa senyuman.
Jogjakarta 2006-2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar