Selasa, 23 April 2013

Cerpen : Cak Sudi


Cak Sudi

Rumah mewah, aneka bunga mekar di sepanjang taman, siapa yang tidak mengidolakan? Tentu, siapapun akan merasa bahagia dapat hidup di dalamnya; melepas saat-saat letih bersama keluarga, menghirup udara segar sambil mendengar canda tawa anak-anak. O alangkah surga!
Begitulah yang dapat aku bayangkan ketika pertama kali melihat rumah terbesar di kampung masa kecilku. Rumah itu nampak seperti penguasa yang dikelilingi rakyatnya-rumah-rumah kecil biasa dan tradisional. Milik siapakah gerangan?
Setelah sekian tahun tidak pulang, gambaran tentang kampung masa kecilku terasa hilang; Langgar-langgar kosong, suara anak-anak yang biasanya mengaji berganti nada-nada dangdut dengan biduan yang seksi. Langkah-langkah kaki dan ayunan sepeda menuju masjid dan pesarean kini berganti motor-motor yang mengaung di jalanan. Mata-mata pemuda nyalang menebar curiga. Ya, semuanya cepat berubah, seperti tanah-tanah yang digerus laju sungai Bengawan di pinggiran kampung masa kecilku, meninggalkan akar dan puing-puing batu, yang ditinggal pemiliknya jauh entah kemana. Kini aku pulang, disambut wajah-wajah baru. Lalu milik siapakah rumah besar itu?
Bibi bilang rumah itu milik seorang pengusaha kaya raya. Dahulu pemiliknya adalah seorang sarjana lulusan universitas terkemuka di kota. Cak Sudi, begitu orang-orang kampung memanggilnya. Setelah kembali ke kampung ini, Cak Sudi mencoba peruntungan nasib dengan berjualan makanan ringan yang ia produksi sendiri untuk dijual di warung-warung tetangga dan kantin sekolah. Namun usahanya itu tidak mendapat restu ibunya. Ibunya ingin sekali anaknya tersebut dapat menjadi seorang guru. Sebab dengan menjadi seorang guru, anaknya tersebut menurutnya akan dapat mengangkat derajat keluarga yang dirasa pada waktu itu masih miskin dan serba kekurangan. Profesi guru adalah profesi mulia dan terhormat; Orang-orang kampung akan segan apabila mengetahui bahwa seorang anak dari keluarga tak mampu telah menjadi seorang ahli ilmu dan cakap mengamalkan ilmunya. Tapi kalau hanya sekedar penjual makanan? anak tidak tamat sekolah pun juga bisa melakukannya, begitu kata ibunya.
Namun tidak bagi Cak Sudi, ia justru yakin akan dapat mengangkat derajat keluarga apabila ia sukses menjadi seorang pengusaha, meski hanya dengan makanan ringan. Seorang pengusaha adalah simbol kemandirian dan kemerdekaan, begitu kata Cak Sudi. Dengan mendirikan usaha, katanya lagi, seseorang akan dapat mengentas kaum pengangguran dan dapat membangun kampung halaman menjadi lebih maju.
Hari demi hari Cak Sudi semakin giat dalam memasarkan usahanya. Meski tanpa restu dari sang ibu, ia tak peduli. Nasib ada dalam genggaman orang sendiri-sendiri; nasibku ya nasibku, Tuhan yang merencanakan, aku yang menentukan pilihan, begitu katanya. Semua strategi tentang pasar dan ekonomi ia pelajari, siang-malam ia habiskan untuk mengatur rencana, memilih kualitas makanan yang ideal dan mencoba dan mencoba.
Setelah beberapa bulan, usaha makanan yang diproduksi Cak Sudi lambat laun menemui jalannya. Orang-orang kampung banyak yang menyukai makanan ringan hasil kreasinya. Kali ini tidak hanya warung tetangga dan kantin sekolah yang membanjiri orderannya, melainkan juga toko-toko besar dan swalayan. Tidak sedikit juga Cak Sudi dapat pesanan dari relasinya melalui media online. Bahkan tak jarang pula ia mengekspor makanan ringannya tersebut sampai ke luar negeri.
Nama Cak Sudi pun oleh orang-orang kampung banyak diperbincangkan. Hanya dengan waktu yang tidak sampai setahun, lelaki sarjana komunikasi itu sudah dapat meraup keuntungan yang melimpah. Sebagian orang kampung menyambut positif kerja keras yang dilakukan Cak Sudi, namun tidak sedikit juga yang menganggap kerja kerasnya itu adalah hasil dari bantuan seorang dukun di luar kota. Sebab, kata sebagian dari mereka, Cak Sudi kerap keluar malam mengelilingi kampung dengan tangan saling mengikat di belakang, dan mulutnya komat-kamit tak jelas suaranya; ketika disapa oleh warga yang ronda, katanya lagi mencari angin segar. Angin segar dari neraka, lelucon mereka.
Namun Cak Sudi menganggap semua itu hanyalah bunga-bunga usahaya. Ia tak terlalu pusing memikirkan anggapan miring sebagian orang kampung. Ia tetap fokus dalam menjalankan usahanya tersebut. Ia justru menjadikan semua kritik dan serapah sebagai pemacu semangatnya dalam meraih semua kesuksesan yang akan ia hasilkan. Semakin tinggi seseorang menaiki sebuah gunung, maka semakin terjal batu-batuan mengganjal, dan semakin tinggi pohon menjulang, maka semakin deras pula angin yang akan menyapunya, begitu ia bersumpah.
Benar apa yang ia pegang, semua usaha yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh maka akan berhasil, dan Cak Sudi membuktikannya. Dalam tempo beberapa tahun ia telah memiliki semua yang ia inginkan. Harapan besar seorang anak yang miskin itu telah mencapai masa gemilangnya. Hanya dengan sekali ucap, rumah megah berdiri di depan matanya. Hanya dengan sekali tepuk, satu-dua mobil nangkring di halaman rumahnya. Sebuah kelebihan yang tak dimiliki seorang pun di kampung ini. Lalu bagaimana dengan ibunya?
Pernah suatu hari ibu Cak Sudi mengajaknya untuk naik haji bersama. Namun permintaan ibunya itu tak pernah sekalipun ia sanggupi. Ia justru sering bepergian ke luar negeri. Untuk melebarkan sayap, katanya. Baginya naik haji adalah urusan dirinya dengan Tuhan; urusan dunia harus diselesaikan dulu baru akhirat. Dan memang, urusan dunianya tak pernah selesai. Selalu ada hal-hal baru yang membuat Cak Sudi berpikir dan bertindak  terus untuk kelancaran usahanya tersebut. Ibu Cak Sudi pun justru dianggapnya sebagai masalah besar dalam hidupnya. Setiap kali ibu Cak Sudi mengajaknya untuk naik haji, Cak Sudi selalu marah-marah. Ia mengangap bahwa niat ibunya untuk naik haji itu akan dapat merusak rencana besarnya.
Sampai suatu hari Cak Sudi mengajak ibunya untuk bepergian. Ibu Cak Sudi tak berpikir macam-macam mengenai ajakannya tersebut. Ia merasa bahwa anaknya itu akan mengajaknya jalan-jalan ke swalayan, membeli barang-barang kebutuhan rumah, makan malam di restoran atau sekedar rekreasi di tempat wisata. Maklum, selama Cak Sudi menjadi konglomerat, tak sekali pun ia diajak oleh anak semata wayangnya itu untuk menikmati hasil usahanya. Jelas ia merasa sangat senang.
Namun ternyata Cak Sudi sudah punya niatan lain. Di suatu tempat, ternyata Cak Sudi sengaja menitipkan ibunya yang sudah lanjut usia itu ke panti jompo. Tentu saja ibu Cak Sudi menolaknya. Tapi tetap saja Cak Sudi memaksa dengan dalih agar ibuya itu dapat menenangkan diri di hari tuanya. Ia pun berjanji akan selalu menjenguk dan membawakan oleh-oleh kesukaannya. Apakah kamu juga akan mengajak ibu naik haji?, tanya ibunya suatu hari. Besok kalau sudah waktunya, jawab Cak Sudi.
Setelah berhasil memasukkan ibunya ke panti jompo, perasaan Cak Sudi seakan terbebas dari pasungan. Tak ada lagi yang menghantui pikirannya. Ia pun semakin bebas dan merdeka melakukan segala yang ia suka. Dan janji-janjinya pada sang ibu lambat laun ia lupakan. Ia semakin tak punya waktu untuk menjenguk ibunya itu, apalagi mengajaknya naik haji. Wajah seorang ibu yang telah mengandungnya beberapa bulan, mengasuhnya tahun demi tahun dengan darah dan keringat yang tak terhitung, hingga ia dapat lulus kuliah dengan baik, sudah tidak lagi tebesit dalam ingatannya, sudah tak tertanam dalam jiwanya. Cak Sudi terus berjalan sendiri, menyusuri lorong-lorong duniawi yang tak seorang pun tahu sampai kemana ia akan berlabuh.
Sampai suatu hari terdengar kabar bahwa ibu Cak Sudi meninggal dunia karena sakit jantung yang diderita. Mendengar kabar tersebut, Cak Sudi tetap saja santai dan merasa semua itu adalah hal yang wajar terjadi pada orang yang sudah lanjut usia. Ibuku sudah naik haji sendiri, dan langsung bertemu Tuhannya!, sambut Cak Sudi.
Belum genap seratus hari dari kematian ibu Cak Sudi, orang-orang kampung dikejutkan lagi dengan kabar bahwa Cak Sudi terserang strok usai meresmikan cabang usahanya di luar kota. Dokter rumah sakit memvonis strok Cak Sudi sangat parah sebab semua organ vital dan pembuluh darah dalam tubuhnya sudah tak berfungsi. Namun seorang dokter menyarankan agar Cak Sudi harus segera dioperasi di rumah sakit luar negeri. Konon dokter beserta peralatan rumah sakit di sana sangat canggih.
Akhirnya oleh kerabat ibu Cak Sudi yang masih perduli dengannya, Cak Sudi langsung dirujuk di rumah sakit luar negeri. Tentu saja dengan biaya yang super mahal. Yang penting nyawa Cak Sudi selamat, toh harta Cak Sudi yang melimpah ruah itu masih cukup untuk membiayai biaya pengobatan, anggapan mereka.
Benar sekali, setelah beberapa bulan dirawat di rumah sakit luar negeri itu, nyawa Cak Sudi akhirnya dapat tertolong. Cak Sudi dapat menyambung nafasnya lagi. Namun meski demikian, Cak Sudi bukan lagi Cak Sudi yang dulu lagi; semua harta kekayaannya habis sudah tergerus biaya pengobatan, sebagian besar ingatannya telah hilang, organ tubuhnya mati total, hanya matanya yang terjaga, dengan tatapan kosong yang lupa nama-nama. Cak Sudi seolah menjadi bangkai puing-puing pinggiran sungai Bengawan yang ditinggal pemiliknya entah kemana. Hanya seonggok tubuh mati yang tak mati-mati, menyiratkan kenangan tentang keperkasaan seorang mantan pengusaha besar, bagi siapa saja yang memandang. Kini ia dititipkan oleh kerabat ibunya di panti asuhan tuna grahita. Dan rumah Cak Sudi yang bagaikan penguasa itu kini tak berpenghuni, kosong seperti jiwa pemiliknya, hanya dedemit dan sarang laba-laba.


Sidoarjo, 17 April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar