Cak Sudi
Rumah
mewah, aneka bunga mekar di sepanjang taman, siapa yang tidak mengidolakan?
Tentu, siapapun akan merasa bahagia dapat hidup di dalamnya; melepas saat-saat
letih bersama keluarga, menghirup udara segar sambil mendengar canda tawa
anak-anak. O alangkah surga!
Begitulah
yang dapat aku bayangkan ketika pertama kali melihat rumah terbesar di kampung masa
kecilku. Rumah itu nampak seperti penguasa yang dikelilingi
rakyatnya-rumah-rumah kecil biasa dan tradisional. Milik siapakah gerangan?
Setelah
sekian tahun tidak pulang, gambaran tentang kampung masa kecilku terasa hilang;
Langgar-langgar kosong, suara anak-anak yang biasanya mengaji berganti nada-nada
dangdut dengan biduan yang seksi. Langkah-langkah kaki dan ayunan sepeda menuju
masjid dan pesarean kini berganti motor-motor yang mengaung di jalanan. Mata-mata
pemuda nyalang menebar curiga. Ya, semuanya cepat berubah, seperti tanah-tanah
yang digerus laju sungai Bengawan di pinggiran kampung masa kecilku,
meninggalkan akar dan puing-puing batu, yang ditinggal pemiliknya jauh entah
kemana. Kini aku pulang, disambut wajah-wajah baru. Lalu milik siapakah rumah
besar itu?
Bibi
bilang rumah itu milik seorang pengusaha kaya raya. Dahulu pemiliknya adalah
seorang sarjana lulusan universitas terkemuka di kota. Cak Sudi, begitu
orang-orang kampung memanggilnya. Setelah kembali ke kampung ini, Cak Sudi
mencoba peruntungan nasib dengan berjualan makanan ringan yang ia produksi
sendiri untuk dijual di warung-warung tetangga dan kantin sekolah. Namun
usahanya itu tidak mendapat restu ibunya. Ibunya ingin sekali anaknya tersebut
dapat menjadi seorang guru. Sebab dengan menjadi seorang guru, anaknya tersebut
menurutnya akan dapat mengangkat derajat keluarga yang dirasa pada waktu itu
masih miskin dan serba kekurangan. Profesi guru adalah profesi mulia dan
terhormat; Orang-orang kampung akan segan apabila mengetahui bahwa seorang anak
dari keluarga tak mampu telah menjadi seorang ahli ilmu dan cakap mengamalkan
ilmunya. Tapi kalau hanya sekedar penjual makanan? anak tidak tamat sekolah pun
juga bisa melakukannya, begitu kata ibunya.
Namun
tidak bagi Cak Sudi, ia justru yakin akan dapat mengangkat derajat keluarga apabila
ia sukses menjadi seorang pengusaha, meski hanya dengan makanan ringan. Seorang
pengusaha adalah simbol kemandirian dan kemerdekaan, begitu kata Cak Sudi.
Dengan mendirikan usaha, katanya lagi, seseorang akan dapat mengentas kaum
pengangguran dan dapat membangun kampung halaman menjadi lebih maju.
Hari
demi hari Cak Sudi semakin giat dalam memasarkan usahanya. Meski tanpa restu
dari sang ibu, ia tak peduli. Nasib ada dalam genggaman orang sendiri-sendiri;
nasibku ya nasibku, Tuhan yang merencanakan, aku yang menentukan pilihan,
begitu katanya. Semua strategi tentang pasar dan ekonomi ia pelajari,
siang-malam ia habiskan untuk mengatur rencana, memilih kualitas makanan yang
ideal dan mencoba dan mencoba.
Setelah
beberapa bulan, usaha makanan yang diproduksi Cak Sudi lambat laun menemui
jalannya. Orang-orang kampung banyak yang menyukai makanan ringan hasil
kreasinya. Kali ini tidak hanya warung tetangga dan kantin sekolah yang
membanjiri orderannya, melainkan juga toko-toko besar dan swalayan. Tidak sedikit
juga Cak Sudi dapat pesanan dari relasinya melalui media online. Bahkan
tak jarang pula ia mengekspor makanan ringannya tersebut sampai ke luar negeri.
Nama
Cak Sudi pun oleh orang-orang kampung banyak diperbincangkan. Hanya dengan waktu
yang tidak sampai setahun, lelaki sarjana komunikasi itu sudah dapat meraup
keuntungan yang melimpah. Sebagian orang kampung menyambut positif kerja keras
yang dilakukan Cak Sudi, namun tidak sedikit juga yang menganggap kerja
kerasnya itu adalah hasil dari bantuan seorang dukun di luar kota. Sebab, kata
sebagian dari mereka, Cak Sudi kerap keluar malam mengelilingi kampung dengan
tangan saling mengikat di belakang, dan mulutnya komat-kamit tak jelas
suaranya; ketika disapa oleh warga yang ronda, katanya lagi mencari angin
segar. Angin segar dari neraka, lelucon mereka.
Namun
Cak Sudi menganggap semua itu hanyalah bunga-bunga usahaya. Ia tak terlalu
pusing memikirkan anggapan miring sebagian orang kampung. Ia tetap fokus dalam
menjalankan usahanya tersebut. Ia justru menjadikan semua kritik dan serapah
sebagai pemacu semangatnya dalam meraih semua kesuksesan yang akan ia hasilkan.
Semakin tinggi seseorang menaiki sebuah gunung, maka semakin terjal batu-batuan
mengganjal, dan semakin tinggi pohon menjulang, maka semakin deras pula angin
yang akan menyapunya, begitu ia bersumpah.
Benar
apa yang ia pegang, semua usaha yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh maka
akan berhasil, dan Cak Sudi membuktikannya. Dalam tempo beberapa tahun ia telah
memiliki semua yang ia inginkan. Harapan besar seorang anak yang miskin itu
telah mencapai masa gemilangnya. Hanya dengan sekali ucap, rumah megah berdiri
di depan matanya. Hanya dengan sekali tepuk, satu-dua mobil nangkring di
halaman rumahnya. Sebuah kelebihan yang tak dimiliki seorang pun di kampung ini.
Lalu bagaimana dengan ibunya?
Pernah
suatu hari ibu Cak Sudi mengajaknya untuk naik haji bersama. Namun permintaan
ibunya itu tak pernah sekalipun ia sanggupi. Ia justru sering bepergian ke luar
negeri. Untuk melebarkan sayap, katanya. Baginya naik haji adalah urusan
dirinya dengan Tuhan; urusan dunia harus diselesaikan dulu baru akhirat. Dan
memang, urusan dunianya tak pernah selesai. Selalu ada hal-hal baru yang
membuat Cak Sudi berpikir dan bertindak
terus untuk kelancaran usahanya tersebut. Ibu Cak Sudi pun justru
dianggapnya sebagai masalah besar dalam hidupnya. Setiap kali ibu Cak Sudi
mengajaknya untuk naik haji, Cak Sudi selalu marah-marah. Ia mengangap bahwa
niat ibunya untuk naik haji itu akan dapat merusak rencana besarnya.
Sampai
suatu hari Cak Sudi mengajak ibunya untuk bepergian. Ibu Cak Sudi tak berpikir
macam-macam mengenai ajakannya tersebut. Ia merasa bahwa anaknya itu akan
mengajaknya jalan-jalan ke swalayan, membeli barang-barang kebutuhan rumah, makan
malam di restoran atau sekedar rekreasi di tempat wisata. Maklum, selama Cak
Sudi menjadi konglomerat, tak sekali pun ia diajak oleh anak semata wayangnya
itu untuk menikmati hasil usahanya. Jelas ia merasa sangat senang.
Namun
ternyata Cak Sudi sudah punya niatan lain. Di suatu tempat, ternyata Cak Sudi
sengaja menitipkan ibunya yang sudah lanjut usia itu ke panti jompo. Tentu saja
ibu Cak Sudi menolaknya. Tapi tetap saja Cak Sudi memaksa dengan dalih agar
ibuya itu dapat menenangkan diri di hari tuanya. Ia pun berjanji akan selalu
menjenguk dan membawakan oleh-oleh kesukaannya. Apakah kamu juga akan mengajak
ibu naik haji?, tanya ibunya suatu hari. Besok kalau sudah waktunya, jawab Cak
Sudi.
Setelah
berhasil memasukkan ibunya ke panti jompo, perasaan Cak Sudi seakan terbebas
dari pasungan. Tak ada lagi yang menghantui pikirannya. Ia pun semakin bebas
dan merdeka melakukan segala yang ia suka. Dan janji-janjinya pada sang ibu
lambat laun ia lupakan. Ia semakin tak punya waktu untuk menjenguk ibunya itu,
apalagi mengajaknya naik haji. Wajah seorang ibu yang telah mengandungnya
beberapa bulan, mengasuhnya tahun demi tahun dengan darah dan keringat yang tak
terhitung, hingga ia dapat lulus kuliah dengan baik, sudah tidak lagi tebesit
dalam ingatannya, sudah tak tertanam dalam jiwanya. Cak Sudi terus berjalan
sendiri, menyusuri lorong-lorong duniawi yang tak seorang pun tahu sampai
kemana ia akan berlabuh.
Sampai
suatu hari terdengar kabar bahwa ibu Cak Sudi meninggal dunia karena sakit
jantung yang diderita. Mendengar kabar tersebut, Cak Sudi tetap saja santai dan
merasa semua itu adalah hal yang wajar terjadi pada orang yang sudah lanjut
usia. Ibuku sudah naik haji sendiri, dan langsung bertemu Tuhannya!, sambut Cak
Sudi.
Belum
genap seratus hari dari kematian ibu Cak Sudi, orang-orang kampung dikejutkan lagi
dengan kabar bahwa Cak Sudi terserang strok usai meresmikan cabang usahanya di
luar kota. Dokter rumah sakit memvonis strok Cak Sudi sangat parah sebab semua
organ vital dan pembuluh darah dalam tubuhnya sudah tak berfungsi. Namun seorang
dokter menyarankan agar Cak Sudi harus segera dioperasi di rumah sakit luar
negeri. Konon dokter beserta peralatan rumah sakit di sana sangat canggih.
Akhirnya
oleh kerabat ibu Cak Sudi yang masih perduli dengannya, Cak Sudi langsung dirujuk
di rumah sakit luar negeri. Tentu saja dengan biaya yang super mahal. Yang
penting nyawa Cak Sudi selamat, toh harta Cak Sudi yang melimpah ruah itu masih
cukup untuk membiayai biaya pengobatan, anggapan mereka.
Benar
sekali, setelah beberapa bulan dirawat di rumah sakit luar negeri itu, nyawa
Cak Sudi akhirnya dapat tertolong. Cak Sudi dapat menyambung nafasnya lagi. Namun
meski demikian, Cak Sudi bukan lagi Cak Sudi yang dulu lagi; semua harta
kekayaannya habis sudah tergerus biaya pengobatan, sebagian besar ingatannya
telah hilang, organ tubuhnya mati total, hanya matanya yang terjaga, dengan
tatapan kosong yang lupa nama-nama. Cak Sudi seolah menjadi bangkai puing-puing
pinggiran sungai Bengawan yang ditinggal pemiliknya entah kemana. Hanya seonggok
tubuh mati yang tak mati-mati, menyiratkan kenangan tentang keperkasaan seorang
mantan pengusaha besar, bagi siapa saja yang memandang. Kini ia dititipkan oleh
kerabat ibunya di panti asuhan tuna grahita. Dan rumah Cak Sudi yang bagaikan
penguasa itu kini tak berpenghuni, kosong seperti jiwa pemiliknya, hanya
dedemit dan sarang laba-laba.
Sidoarjo, 17 April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar