Selokan
Oleh:
Hais Abdurrohman
Aku tidak berbicara pada siapa pun malam itu. Aku
yakin semua yang diam di atas tanah yang kupijak tidak semuanya mati, buta atau
tuli. Semuanya menyimakku, dan mengerti akan apa yang kulakukan. Karena itu aku
tidak mengatakan bahwa aku sendirian,
tdak juga bersama seorang kawan. Sebab memang tak ada siapa-siapa lagi.
Sebelumnya memang ada beberapa pemuda yang ramai menenggak alkohol di antara
semak-semak. Suara gitar mereka cukup merdu untuk kudengarkan. Sepasang pecinta
yang lumayan romantis juga sedang menghangatkan badan. Sayang rambut gadis itu
teramat panjang. Andai bibir mereka dapat kulihat. Sungguh, malam di pinggir
selokan benar-benar seksi. Di sinilah tempat nongkrong paling murah dan murahan
di pelosok kota.
Lalu mesin motor menyalak-nyalak, suara-suara mengabur, aku tidak menemukan
orang lain.
Semoga bahagia! Barangkali itu yang
dapat aku doakan untuk mereka. Bagaimana pun macamnya dan apa pun jalannya, aku
yakin mereka hanya menginginkan satu hal dalam hidup ini, kebahagiaan!. Sampai
saat ini, aku sangat yakin bahwa kebahagiaan ada di mana-mana. Kebahagiaan ada
di kamar tidur, kamar mandi, dapur, meja makan, jalanan, stasiun, terminal, bus
kota bahkan di
lubang tikus. Lebih-lebih kebahagiaan aku temukan di selokan. Karena itu, aku
selalu ingin berada di dekatnya. Menikmati kebahagiaan yang menyelinap di
selah-selah air, menggantung di langit yang bulannya separuh, lalu
meloncat-loncat layaknya bocah kecil, kemudian berterbangan menjelma angin yang
dingin. Kebahagiaan duduk manis di hatiku.
Dua bola lampu menyala terang. Mesin
mobil terdengar mendekat. Tak lama berhenti di depanku. Petugas patroli. Aku
tak beranjak ketika mereka serius mengamatiku.
“Sedang apa kamu di situ?”
“Melihat air, Pak”.
“Memancing?”.
“Melihat air!”.
“Bersama perempuan?”.
“Bersama bulan! Jika Bapak mau
bersabar, kita juga akan melihat bintang jatuh. Tadi sudah. Barangkali ada lagi
yang hendak menyusul. Warnanya cantik. Tapi jangan percaya orang-orang. Bintang
bukanlah apa-apa. Hanya karya seni. Silahkan duduk bersama saya!”.
“Kamu lagi mabuk?”.
“Saya pemabuk, tapi tidak untuk
malam ini”. Kutawarkan pada mereka teh manis dalam bungkus plastik.
“Sebaiknya kamu pergi saja!”.
“Kenapa? Saya merasa lebih nyaman di
sini. Jauh dari hotel yang pasti akan diledakkan lagi, tak ada demonstrasi,
jauh dari rumah-rumah penduduk, sehingga saya terbebas dari peluru nyasar jika
ada bentrokan antara warga dan aparat keamanan. Kenapa?”
Selanjutnya aku tidak melihat kedua
petugas itu lagi. Hanya mobilnya yang perlahan menjauh bersama lampu kerlap-kerlip
di atasnya. Mungkin mereka kecewa denganku. Tapi biarlah. Bukankah hal itu
sudah menjadi resiko dari pekerjaan mereka?. Oh ya, aku pernah melihat mata
mereka berkaca-kaca usai menembaki kampung pemberontak empat tahun silam.
Mereka bilang enggan untuk kembali lagi. Istri mereka yang setia dan anak-anak
yang masih kecil, ah terlalu pagi kiranya kalau menjadi janda dan yatim. Tapi apa yang dapat mereka perbuat jika
mereka dikirim kembali ke medan
perang? Orang-orang berseragam senjata itu pun akhirnya hanya bisa menaruh tangan
di dahi. Tak akan lama pasti terdengar tangisan yang serempak. Oh, andai saja
para ilmuwan tidak menghabiskan waktu mereka di gudang-gudang senjata. Sehingga
mereka lupa cara menciptakannya. Atau seluruh manusia di dunia ini lupa cara
menggunakan barang mahal itu. Ya, andai saja.
Petugas itu datang lagi. Kali ini
mereka langsung mendekatiku. Menanyakan KTP. Aku bilang tidak punya, mereka
malah bertanya yang macam-macam: alamat rumah, nomer telepon, pekerjaan,
kampus...
Ah, masa bodoh!
Kepalaku pusing mendengarnya. Kupalingkan wajahku. Kutatap air selokan yang
warnanya kecoklatan. Masih dapat kulihat bayanganku mengombak.
“Silahkan ikut kami ke kantor!”
“Aku tidak mau. Aku ingin di sini.
Memangnya…”
Brengsek! Tiba-tiba mereka menarik
tubuhku. Aku digelandang masuk ke dalam mobil. Kucoba meronta sekuat tenaga.
Bergulungan ke tanah. Berpegangan pada kesemak dan batu-batu. Tapi semuanya
sia-sia. Tenaga mereka sangat kuat untuk tubuhku yang kurus dan pendek. Tak
berguna mulutku berteriak. Sekali lagi tak ada siapa-siapa. Meski semua orang
mendengarku, apa yang dapat mereka lakukan? Paling-paling aku dianggap maling,
bandar narkoba atau teroris yang tertangkap petugas keamanan. Siapa yang
berani? Tak ada seorang pun yang mengejar mobil patroli itu sampai ke
markasnya.
Apa sebenarnya salahku dan siapa
yang dirugikan aku tak habis pikir. Memangnya siapa yang melarang seseorang
duduk-duduk di pinggir selokan? Undang-undang macam apa yang mengharuskan
seseorang yang berkunjung ke selokan wajib membawa KTP?
“Diam!” Meja digebrak. Beberapa
orang mengerubungku. Tak ada yang bicara. Aku melihat taring ular.
“Siapa namamu?”. Aku diam
“Kamu punya nama?”. Petugas itu
membentak. Aku malah tak mau bicara.
“Kamu manusia?”. Aku tertawa. Kakiku
ditendang. Semua mendesis.
“Apa yang kamu lakukan malam-malam
di selokan? Aku tetap membisu.
“Transaksi narkoba? Habis membunuh?
Memperkosa? Makar? Terorisme?”
“Semua salah!”, jawabku sambil
tertawa lagi. Meja pun digebrak lagi. Beberapa kepalan tangan kurasakan sangat
keras di pipi juga perutku. Sangat sakit. Kutundukkan kepala. Airmataku jatuh.
Aku tidak meminta maaf.
Seorang petugas menjebloskanku ke
dalam sel malam itu juga. Memandangiku agak lama di samping pintu yang masih
terbuka. Memberikanku sebatang rokok. Ia bercerita tentang orang-orang yang
keluar-masuk penjara. Tentang kejahatan dan hukuman bagi yang melanggar hukum.
Aku masih terdiam di lantai, bersandar pada tembok yang penuh coretan. Ia juga
bercerita tentang dirinya dan keluarganya. Semua ini demi tugas, katanya lagi.
“Selamat malam!” Pintu ia kunci rapat. Suara sepatunya perlahan menghilang.
Hanya aku yang berada di dalam sel.
Tak ada air, tumbuh-tumbuhan apalagi bintang jatuh. Tak banyak yang kulakukan
kecuali membaca satu demi satu coretan yang bersilang-sengkarut di tembok:
Tuhan, kuatkan jiwaku. Selamat tinggal kedamaian. Aku ingin pulang. Mama papa
aku kangen. Hidup memang brengsek! Ayo mati bareng-bareng.
Aku mau bunuh diri tapi jangan bilang siapa-siapa. Dan masih banyak lagi
coretan lain yang bahkan sudah tidak dapat kubaca karena debu dan kotoran yang
menempel. Tak ada nama mereka. Hanya coretan.
Aku mencari sesuatu. Tak ada pena
atau pun cat. Kuputuskan untuk menusukkan jariku pada paku. Keluar darah. Aku
ingin seperti mereka. Akan kutulis pada tempat pembaringan besar-besar:
KEMBALIKAN AKU KE SELOKAN!. Belum sempat aku corat-coret, seorang petugas
membuka pintu. Ah, orang itu lagi. Kukira ia akan menemaniku tidur, ternyata
membawaku ke ruang semula. Jumlah mereka berkurang sedikit. Tapi aku masih
trauma dengan perlakuan mereka.
“Punya keluarga?”. Aku mengangguk.
“Nomer telepon rumah?”. Kugelengkan
kepala.
“Alamat rumah, hafal?”. Aku
mengangguk lagi. Sekretaris itu menyodorkan kertas kosong dan pena. Kutulis alamat
rumahku dengan gemetar. Kemudian aku dibawa kembali ke dalam sel. Kurasakan
udara begitu dingin. Aku sangat mengantuk. Kurebahkan tubuhku di pembaringan,
dan aku lupa menulis sesuatu. Selanjutnya aku tidak ingat lagi.
Aku baru tersadar ketika kurasakan
air tiba-tiba tumpah di mukaku. Bukan tumpah, tapi sengaja ditumpahkan. Siapa
lagi kalau bukan si penjaga sel. “Anjing! Beraninya berbohong!”. Aku tak
mengerti apa yang ia katakan. Ia terus mengumpatku. Menyeretku di hadapan
teman-temannya. Aku seperti celeng hutan yang tercebur lumpur. Tak dapat
berbuat banyak. Mata mereka bengis. Entah kenapa tiba-tiba mereka begitu sangat
jahat kepadaku. Mereka bilang aku menyembunyikan sesuatu, alamat rumah yang
kuberikan salah, di dalam tak ada orang sama sekali. Semuanya omong kosong,
kata mereka. Aku bersumpah, mereka malah menampar. Aku semakin menundukkan
kepala. Seperti yang pernah kubilang, tubuhku semakin sakit. Tak ada gunanya
aku menangis. Aku dimasukkan ke dalam mobil. Mereka sempat mengusirku.
Mobil melaju ke arah rumahku. Aku
ingat betul. Jalan yang kami lalui benar, seperti yang kutulis di kertas
semalam. Jalanan di sini penuh alang-alang.
Barangkali tak akan kamu dapati rumah atau pun perkampungan. Banyak hewan
buasnya kalau malam. Jarang ada orang kemari, selain berburu kutilang dan
sejenisnya. Tak ada lampu-lampu. Biasanya aku memakai oncor untuk penerangan, sambil bakar-bakar di samping rumah. Gudang
kumuh, sarang penyamun, kata mereka.
Benar di situ rumahku. Sangat besar
dan tua. Jaring laba-labanya juga besar-besar. Kami berdua masuk. Seorang lagi
menunggu di luar.
“Benar kamu tinggal di sini?”. Aku
mengangguk.
“Sekarang di mana keluargamu?”. Aku
tak menjawab.
“Panggil mereka!”. Petugas itu
mendorong pundakku. Kutundukkan kepala.
“Cepat!”. Petugas itu berteriak. Aku
semakin takut. Jariku menunjukkan sesuatu yang bersembunyi di balik keremangan.
“Besi-besi tua! Dari mana kamu mendapatkannya?” Aku terdiam. Kucoba untuk
menyingkirkan ingatan masa lalu dari pikiranku. Namun bayang-bayang hitam yang
telah sekian tahun lamanya kupendam itu seolah hadir dengan sendirinya.
Menjabat tanganku seperti dua saudara kembar yang lama berpisah. Dan
memintaku untuk bermain seperti dulu. Kupejamkan mata rapat-rapat,
airmataku tak kuasa kutahan.
“Merekalah keluargaku”.
“Sialan! Bermain teka-teki lagi.
Kamu pasti komplotan pencuri”.
Sudah kukatakan yang sebenarnya,
tapi tetap tidak ada yang mau percaya. Apa orang seperti aku ini selalu
dianggap salah dan salah selamanya? Sungguh, aku memang terlahir dari tumpukan
besi dan rongsokan. Tapi tak ada juga yang mau percaya.
Petugas itu kembali menangkapku.
Mengunciku di sebuah ruangan khusus. Sejak saat itu, aku lebih sering
corat-coret tembok. Masih seperti dulu, tempat seperti ini selalu sunyi.
Tak kutemukan selokan dan bintang jatuh. Lalu kuambil batu di sudut ruangan,
kulemparkan pada jeruji besi yang memagar di depanku dengan sangat keras;
tangngngngng! Aku merasa bahagia!.
Jogjakarta, Desember
2007-Februari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar