Kamis, 22 November 2012

Cerpen : Selokan



Selokan
Oleh: Hais Abdurrohman
Aku tidak berbicara pada siapa pun malam itu. Aku yakin semua yang diam di atas tanah yang kupijak tidak semuanya mati, buta atau tuli. Semuanya menyimakku, dan mengerti akan apa yang kulakukan. Karena itu aku tidak mengatakan bahwa aku  sendirian, tdak juga bersama seorang kawan. Sebab memang tak ada siapa-siapa lagi. Sebelumnya memang ada beberapa pemuda yang ramai menenggak alkohol di antara semak-semak. Suara gitar mereka cukup merdu untuk kudengarkan. Sepasang pecinta yang lumayan romantis juga sedang menghangatkan badan. Sayang rambut gadis itu teramat panjang. Andai bibir mereka dapat kulihat. Sungguh, malam di pinggir selokan benar-benar seksi. Di sinilah tempat nongkrong paling murah dan murahan di pelosok kota. Lalu mesin motor menyalak-nyalak, suara-suara mengabur, aku tidak menemukan orang lain.
            Semoga bahagia! Barangkali itu yang dapat aku doakan untuk mereka. Bagaimana pun macamnya dan apa pun jalannya, aku yakin mereka hanya menginginkan satu hal dalam hidup ini, kebahagiaan!. Sampai saat ini, aku sangat yakin bahwa kebahagiaan ada di mana-mana. Kebahagiaan ada di kamar tidur, kamar mandi, dapur, meja makan, jalanan, stasiun, terminal, bus kota bahkan di lubang tikus. Lebih-lebih kebahagiaan aku temukan di selokan. Karena itu, aku selalu ingin berada di dekatnya. Menikmati kebahagiaan yang menyelinap di selah-selah air, menggantung di langit yang bulannya separuh, lalu meloncat-loncat layaknya bocah kecil, kemudian berterbangan menjelma angin yang dingin. Kebahagiaan duduk manis di hatiku.
            Dua bola lampu menyala terang. Mesin mobil terdengar mendekat. Tak lama berhenti di depanku. Petugas patroli. Aku tak beranjak ketika mereka serius mengamatiku.
            “Sedang apa kamu di situ?”
            “Melihat air, Pak”.
            “Memancing?”.
            “Melihat air!”.
            “Bersama perempuan?”.
            “Bersama bulan! Jika Bapak mau bersabar, kita juga akan melihat bintang jatuh. Tadi sudah. Barangkali ada lagi yang hendak menyusul. Warnanya cantik. Tapi jangan percaya orang-orang. Bintang bukanlah apa-apa. Hanya karya seni. Silahkan duduk bersama saya!”.
            “Kamu lagi mabuk?”.
            “Saya pemabuk, tapi tidak untuk malam ini”. Kutawarkan pada mereka teh manis dalam bungkus plastik.
            “Sebaiknya kamu pergi saja!”.
            “Kenapa? Saya merasa lebih nyaman di sini. Jauh dari hotel yang pasti akan diledakkan lagi, tak ada demonstrasi, jauh dari rumah-rumah penduduk, sehingga saya terbebas dari peluru nyasar jika ada bentrokan antara warga dan aparat keamanan. Kenapa?”
            Selanjutnya aku tidak melihat kedua petugas itu lagi. Hanya mobilnya yang perlahan menjauh bersama lampu kerlap-kerlip di atasnya. Mungkin mereka kecewa denganku. Tapi biarlah. Bukankah hal itu sudah menjadi resiko dari pekerjaan mereka?. Oh ya, aku pernah melihat mata mereka berkaca-kaca usai menembaki kampung pemberontak empat tahun silam. Mereka bilang enggan untuk kembali lagi. Istri mereka yang setia dan anak-anak yang masih kecil, ah terlalu pagi kiranya kalau menjadi janda dan yatim.  Tapi apa yang dapat mereka perbuat jika mereka dikirim kembali ke medan perang? Orang-orang berseragam senjata itu pun akhirnya hanya bisa menaruh tangan di dahi. Tak akan lama pasti terdengar tangisan yang serempak. Oh, andai saja para ilmuwan tidak menghabiskan waktu mereka di gudang-gudang senjata. Sehingga mereka lupa cara menciptakannya. Atau seluruh manusia di dunia ini lupa cara menggunakan barang mahal itu. Ya, andai saja.
            Petugas itu datang lagi. Kali ini mereka langsung mendekatiku. Menanyakan KTP. Aku bilang tidak punya, mereka malah bertanya yang macam-macam: alamat rumah, nomer telepon, pekerjaan, kampus...              
Ah, masa bodoh! Kepalaku pusing mendengarnya. Kupalingkan wajahku. Kutatap air selokan yang warnanya kecoklatan. Masih dapat kulihat bayanganku mengombak.
            “Silahkan ikut kami ke kantor!”
            “Aku tidak mau. Aku ingin di sini. Memangnya…”
            Brengsek! Tiba-tiba mereka menarik tubuhku. Aku digelandang masuk ke dalam mobil. Kucoba meronta sekuat tenaga. Bergulungan ke tanah. Berpegangan pada kesemak dan batu-batu. Tapi semuanya sia-sia. Tenaga mereka sangat kuat untuk tubuhku yang kurus dan pendek. Tak berguna mulutku berteriak. Sekali lagi tak ada siapa-siapa. Meski semua orang mendengarku, apa yang dapat mereka lakukan? Paling-paling aku dianggap maling, bandar narkoba atau teroris yang tertangkap petugas keamanan. Siapa yang berani? Tak ada seorang pun yang mengejar mobil patroli itu sampai ke markasnya.
            Apa sebenarnya salahku dan siapa yang dirugikan aku tak habis pikir. Memangnya siapa yang melarang seseorang duduk-duduk di pinggir selokan? Undang-undang macam apa yang mengharuskan seseorang yang berkunjung ke selokan wajib membawa KTP?
            “Diam!” Meja digebrak. Beberapa orang mengerubungku. Tak ada yang bicara. Aku melihat taring ular.
            “Siapa namamu?”. Aku diam
            “Kamu punya nama?”. Petugas itu membentak. Aku malah tak mau bicara.
            “Kamu manusia?”. Aku tertawa. Kakiku ditendang. Semua mendesis.
            “Apa yang kamu lakukan malam-malam di selokan? Aku tetap membisu.
            “Transaksi narkoba? Habis membunuh? Memperkosa? Makar? Terorisme?”
            “Semua salah!”, jawabku sambil tertawa lagi. Meja pun digebrak lagi. Beberapa kepalan tangan kurasakan sangat keras di pipi juga perutku. Sangat sakit. Kutundukkan kepala. Airmataku jatuh. Aku tidak meminta maaf.
            Seorang petugas menjebloskanku ke dalam sel malam itu juga. Memandangiku agak lama di samping pintu yang masih terbuka. Memberikanku sebatang rokok. Ia bercerita tentang orang-orang yang keluar-masuk penjara. Tentang kejahatan dan hukuman bagi yang melanggar hukum. Aku masih terdiam di lantai, bersandar pada tembok yang penuh coretan. Ia juga bercerita tentang dirinya dan keluarganya. Semua ini demi tugas, katanya lagi. “Selamat malam!” Pintu ia kunci rapat. Suara sepatunya perlahan menghilang.
            Hanya aku yang berada di dalam sel. Tak ada air, tumbuh-tumbuhan apalagi bintang jatuh. Tak banyak yang kulakukan kecuali membaca satu demi satu coretan yang bersilang-sengkarut di tembok: Tuhan, kuatkan jiwaku. Selamat tinggal kedamaian. Aku ingin pulang. Mama papa aku kangen. Hidup memang brengsek! Ayo mati bareng-bareng. Aku mau bunuh diri tapi jangan bilang siapa-siapa. Dan masih banyak lagi coretan lain yang bahkan sudah tidak dapat kubaca karena debu dan kotoran yang menempel. Tak ada nama mereka. Hanya coretan.
            Aku mencari sesuatu. Tak ada pena atau pun cat. Kuputuskan untuk menusukkan jariku pada paku. Keluar darah. Aku ingin seperti mereka. Akan kutulis pada tempat pembaringan besar-besar: KEMBALIKAN AKU KE SELOKAN!. Belum sempat aku corat-coret, seorang petugas membuka pintu. Ah, orang itu lagi. Kukira ia akan menemaniku tidur, ternyata membawaku ke ruang semula. Jumlah mereka berkurang sedikit. Tapi aku masih trauma dengan perlakuan mereka.
            “Punya keluarga?”. Aku mengangguk.
            “Nomer telepon rumah?”. Kugelengkan kepala.
            “Alamat rumah, hafal?”. Aku mengangguk lagi. Sekretaris itu menyodorkan kertas kosong dan pena. Kutulis alamat rumahku dengan gemetar. Kemudian aku dibawa kembali ke dalam sel. Kurasakan udara begitu dingin. Aku sangat mengantuk. Kurebahkan tubuhku di pembaringan, dan aku lupa menulis sesuatu. Selanjutnya aku tidak ingat lagi.
            Aku baru tersadar ketika kurasakan air tiba-tiba tumpah di mukaku. Bukan tumpah, tapi sengaja ditumpahkan. Siapa lagi kalau bukan si penjaga sel. “Anjing! Beraninya berbohong!”. Aku tak mengerti apa yang ia katakan. Ia terus mengumpatku. Menyeretku di hadapan teman-temannya. Aku seperti celeng hutan yang tercebur lumpur. Tak dapat berbuat banyak. Mata mereka bengis. Entah kenapa tiba-tiba mereka begitu sangat jahat kepadaku. Mereka bilang aku menyembunyikan sesuatu, alamat rumah yang kuberikan salah, di dalam tak ada orang sama sekali. Semuanya omong kosong, kata mereka. Aku bersumpah, mereka malah menampar. Aku semakin menundukkan kepala. Seperti yang pernah kubilang, tubuhku semakin sakit. Tak ada gunanya aku menangis. Aku dimasukkan ke dalam mobil. Mereka sempat mengusirku.
            Mobil melaju ke arah rumahku. Aku ingat betul. Jalan yang kami lalui benar, seperti yang kutulis di kertas semalam. Jalanan di sini penuh alang-alang. Barangkali tak akan kamu dapati rumah atau pun perkampungan. Banyak hewan buasnya kalau malam. Jarang ada orang kemari, selain berburu kutilang dan sejenisnya. Tak ada lampu-lampu. Biasanya aku memakai oncor untuk penerangan, sambil bakar-bakar di samping rumah. Gudang kumuh, sarang penyamun, kata mereka.
            Benar di situ rumahku. Sangat besar dan tua. Jaring laba-labanya juga besar-besar. Kami berdua masuk. Seorang lagi menunggu di luar.
            “Benar kamu tinggal di sini?”. Aku mengangguk.
            “Sekarang di mana keluargamu?”. Aku tak menjawab.
            “Panggil mereka!”. Petugas itu mendorong pundakku. Kutundukkan kepala.
            “Cepat!”. Petugas itu berteriak. Aku semakin takut. Jariku menunjukkan sesuatu yang bersembunyi di balik keremangan.
“Besi-besi tua! Dari mana kamu mendapatkannya?” Aku terdiam. Kucoba untuk menyingkirkan ingatan masa lalu dari pikiranku. Namun bayang-bayang hitam yang telah sekian tahun lamanya kupendam itu seolah hadir dengan sendirinya. Menjabat tanganku seperti dua saudara kembar yang lama berpisah. Dan memintaku  untuk  bermain seperti dulu. Kupejamkan mata rapat-rapat, airmataku tak kuasa kutahan. 
            “Merekalah keluargaku”.
            “Sialan! Bermain teka-teki lagi. Kamu pasti komplotan pencuri”.
            Sudah kukatakan yang sebenarnya, tapi tetap tidak ada yang mau percaya. Apa orang seperti aku ini selalu dianggap salah dan salah selamanya? Sungguh, aku memang terlahir dari tumpukan besi dan rongsokan. Tapi tak ada juga yang mau percaya.
            Petugas itu kembali menangkapku. Mengunciku di sebuah ruangan khusus. Sejak saat itu, aku lebih sering corat-coret tembok. Masih seperti dulu, tempat seperti ini selalu sunyi. Tak kutemukan selokan dan bintang jatuh. Lalu kuambil batu di sudut ruangan, kulemparkan pada jeruji besi yang memagar di depanku dengan sangat keras; tangngngngng! Aku merasa bahagia!.


Jogjakarta, Desember 2007-Februari 2008


Tidak ada komentar:

Posting Komentar