Aku ini rumah kecil
aku ini rumah
kecil
gubuk suwung di
bawah tebing
tak ada hari
korban di diriku
upacara natal,
waisak dan galungan
tak ada suara
adzan dan lonceng bertalu
karena itu tak ada
yang sudi singgah sekedar berbaring
menyalakan lilin
mengucap cinta dan
doa-doa
sarang demit dan
laba-laba raksasa, katamu
rahim lumut yang
subur dari pecahan genting dan atap bocor
hujan selalu
singgah
meski tak
mensucikan
dan kemarau selalu
menumpahkan debu
debu yang tak
henti-henti kau takuti
dari segala najis
dan kematian
petang ini sering
terjadi gempa
sudikah kau
melihatku untuk terakhir kali?
rumah kecil tak
bertiang
sebelum tumbang
sebelum tenggelam
sebelum kembali
dari tanah ke tanah
atau sekedar
berfoto dan melambaikan tangan
bersama karangan
bunga yang kau bawa
tidak!
jangan kau lakukan
jika terpaksa
jangan kau kenang
karena dendam
taburi dulu dengan
ludah dan serapah
setelah itu bilas
dadamu
lalu relakan
relakan
Di atas bumi hitam-putih
di atas bumi-hitam
putih
kuda-kuda dalam
tubuhku meringkik
melompat-lompat
minta dilepaskan
berderap sampai
ujung yang tak kuketahui
merampas segala
kegelapan dan cahaya
sebagai sajadah
atau mataangin
mungkin juga
huruf-huruf di nisanku
jika berkenan
mengenang
bukan nama dan
waktuku terlahir
di atas bumi
hitam-putih
para rahib kubunuh
dengan ketidakpercayaan lebih besar
dari kebesaran
jubah mereka
seperti
orang-orang membunuh tuhan mereka
lalu mencarinya di
pasar-pasar
tapi di jiwaku
tuhan selamat
yang mati yang
mengaku dirinya kekasih
yang diam-diam
meninggalkanku
dan berlari menuju
kemabukan surga
dalam kuil-kuil
kesunyian
di atas bumi
hitam-putih
kupilih
menghanguskan diri
menabrak barisan
benteng paling rapi
melahap murka dan
celaka
meneguk kemenangan
demi kemenangan
-wajah kesedihan
yang lain-
agar subur tuhan
di tubuh kecil ini
meski pada akhirnya
aku kalah
dan berserah
pada tuhan yang tak pernah kalah
Yogyakarta, 2008
Samsara
engkaukah yang
bertamu sepanjang malam?
sepanjang
kegelapan meniduriku
sepanjang esok
yang mulai tak kupercayai
bersama kotaku
yang warnawarni
samsara
wajah-wajah yang
kukenal
jiwa-jiwa yang
kukawini
lahir dari mata,
lidah, tangan dan seluruh anggota badanku yang cacat
benar-benar cacat
kau kembali
bagaimana aku
harus sembunyi
sedang kau
menjelma apapun di dunia ini
kecuali tuhan dan
kekasihnya
karena kau tak
berdaya
lalu kau tersenyum
padaku
sambil berayunan
di taman kebodohan
tak habis-habisnya
meski sebenarnya
aku pun lelah
dan sama tak
berdaya
Yang kubawa mati
jika kau temukan
aku dalam gelap
mandikan
mandikan lalu
hangatkan dengan segala yang kau punya
demi tuhan di
jiwamu
sebagai sedekah
yang pahalanya melimpah
tak ada yang harus
kupilih
selain tetap
bertahan di kedalaman murka dan restu
oh insan celaka
memikul batu-batu
jika kau temukan
aku dalam cahaya
tamparlah
tamparlah dengan
menyebut Tuhanmu yang pengampun
siapa tahu aku
lalai dengan kebaikan-kebaikan
dan cinta yang kau
amini
kuangkat kedua
tangan sedada
berharap kau tak
lupa
dan turut menjaga
layaknya anak-anak gembala
puisi
amal karib yang
kubawa mati
Ketika hujan turun
bumi basah
hijau-kuning
daunan seperti para pemberi sedekah
semesta doa dan
restu
menciumi sekujur
tubuhku
boneka gadis duduk
manis
di samping gubuk
pemulung
matanya menjala
hujan
anak alam yang
sembunyi-sembunyi ditakuti
lakuku sunyi
seperti hujan
turun
tanpa siulan dan
salam
orang-orang
menahan diri di rumah
di emperan gedung
di mantel biru
laut dan mobil-mobil pribadi
sesekali
menadahkan tangan seperti peminta-minta yang bibirnya gemetar
di tiang-tiang
lampu merah
sungai kecil
menggambar wajahku
selalu tak
sempurna
mengembarakan
kenangan dusun-dusun kecil
di mana hujan
begitu hebat
batu-batu
yang digulingkan
sungai dan
hutan-hutan dipecahkan
ruh yang pergi menggasing resah
mencari rumah kembali
ketika hujan turun
segalanya kuasa
diguyur
ditenggelamkan
hanya saja
benda-benda rupawan
lubang kita
berteduh
kian menebalkan
fantasi dan kesombongan
hingga sebegitu
iman
sebutir debu
sanggup memayungi diri
Rindu terpasung
cinta terdampar di
ubun-ubun
rindu merangkak
bagaikan siput
daun-daun
menguning diguyur airmata
jiwaku makam abadi
tenggelam bersama
ranting patah
usai kau susui
luka tak berpantai
jika kini kau
guntur belailah
malam dengan
lembut
agar dinginnya
dapat menjadi obat bagi kematian
yang panjang
agar dinginnya
dapat menjadi obat sebab perang
yang tak kunjung
padam
tidakkah kita
ingin melihat kunang-kunang angkasa
dengan selendang
mereka yang cantik
bukan peluru
warna-warni atau bunga api
yang telah
membungkam bocah-bocah kecil
saat mereka
bermain loncatan sambil menguping ledakan
yang mereka bilang
merdu
Berlari
berlarilah wahai
banteng dalam jiwaku
berlarilah secepat
angin dan kedipan mata
berlarilah dan
temui Tuhanmu
sampaikan salam
dengan syair terindah
: kami umat
Muhammad yang kau agungkan
yang memecahkan batu-batu dengan air
yang menyuburkan padang sahara dengan salam
dan keluhuran
yang kesabarannya telaga dan cintanya pada
kami
matahari
restuilah darah dan hati kami
lalu menukiklah ke
bumi
berlarilah sekuat
Muhammad dan rasul-rasul tercinta
padamkan api di hutan-hutan
sejukkan barisan
desa dan kota
segarkan kematian
yang mengeram di jiwa
lalu dengan
semesta doa dan ridlo sang agung
berlarilah menuju
kemenangan dan bahagia
Di gigir tebing
awalnya hanya dua
orang yang datang
menungguku di
suatu pagi
adakah ku pernah
berjanji?
“perjalanan harus
segera diteruskan.
atau kita memilih
terjun ke sungai berbatu?”, begitu
mereka mengingatnya
sungguh aku tidak
melupakan hal itu
aku telah
memahatnya di dinding-dinding lembab jiwaku,
di tiap lapis
kesunyian dan doa
: kuil istirah
bagi yang sebatang kara
bahwa yang mati
harus segera disegarkan
yang hidup harus
kembali digerakkan
dan yang cacat,
cinta dan kesuciannya harus tetap dijaga
dimulai dari sebuah
pagi
di gigir tebing
yang akarnya sungai hitam
: tempat mata dan
telinga hendak disemayam
dari atas tubuhku
kian kecil dan tersenyum
adakah seseorang
hendak mengejar kita?
Yogyakarta, 26 Oktober 2008
Doa penyair
bila saja kau
izinkan, Tuanku
ingin
kurobek-robek awan kelam yang menyimpan
halilintar
agar teduh saja
hujannya
bila saja kau
izinkan, Tuanku
ingin kupecah
purnama
untuk kubagi-bagi
di gulita jiwa
dan bila saja kau
izinkan , Tuanku
ingin kurontokkan
daunan kamboja yang merah-putihnya
rekah sepanjang
tanah makam
lalu kualirkan ke
sungai hitam di badan
betapa pilu musim
gugur ini yang tak sekalipun
dirasakan
bila saja kau
izinkan, Tuanku
dengan puisi dan
ketenangan hati
Sowan
/Qodri
di kamarmu asap
rokok dan botol minuman
tumpah diringi
lagu cinta lama
tubuh-tubuh
terbujur lunglai
usai menaiki bukit
nasib
sebagian yang lain
sedang kurindukan
sebab pergi tak bilang-bilang
di luar kau
menghibur diri
di depan televisi
dan gambar-gambar kartun
di kamarmu tak ada
yang kuajak bicara selain hati dan puisi
: kenapa gendang
hidup yang kutabuh tiap petang sumbang
puisi yang
kukandung berbulan-bulan lahir sebagai setan
mungkin aku setan
yang menziarahi batu nisan
dan terpendam usai
menyusuri tanda dan peta
mungkin pula aku
tubuh yang menggeliat-geliat sedang jiwanya musnah
atau ada goresan
lain dari tinta Tuhan yang belum kubaca
dari kamarmu aku
ingin sowan ke hadirat Tuhan saja!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar